Azka Zahra putri sulung kami, kerap merubah rengekannya menjadi tangisan dan teriak ungkapan keinginannya dengan keras. Ketika saya tidak mengubrisnya Zahra melempar mainan yang ada didekatnya, saat itu usianya kurang lebih 3 tahun. Itulah bentuk protes dan perlawanan Zahra jika kemauannya tidak dikabulkan. Saya bukan tidak mau menuruti keinginan Zahra, tapi tengah mengajarinya bahwa tidak semua yang diinginkannya bisa di dapat. Kami sudah sepakat, jika jajanan yang boleh dibeli Zahra maksimal dua macam. Tidak boleh jajan chiki kecuali sesekali dan itu pun yang ukurannya kecil begitupun minum-minuman seperti limun atau teh kemasan dan tidak boleh setiap pedagang yang lewat depan rumah dibeli. Lima tahun belajar kimia membuat saya hati-hati soal pilih memilih makanan dan jajanan untuk si kecil.
Tentu, saya memberi penjelasan sederhana kenapa tidak boleh sering jajan, kenapa jajan ini itu gak boleh dst. Begitupun soal lamanya waktu menonton dan waktu main games yang boleh dilakukan dihari sabtu dan minggu saja . Azka belum mengerti hitungan jam, jadi setiap kali menonton kami batasi dengan cara, hanya satu cd atau satu film (jika cd combo - isi cd berisi lebih dari satu film), jika Azka merengek minta tambahan waktu, kami beri 5 sampai 10 menit, setelah itu tv harus mati. Saya memberinya pengertian jika menonton terus menerus matanya bisa sakit, Azka perlu bermain dengan teman sebaya dan mendengarkan dibacakan buku, main cait air dsb.
“Jangan dilempar!” pekik saya spontan sambil menarik Zahra, menjauhkannya dari meja yang di atasnya terletak pesawat telpon, rak kecil berisi stationary, koleksi cd dan foto.
“Azka nurut sama mama ya. Azka harus belajar disiplin.”
“Aku nggak mau disiplin!” teriak Azka.
Insiden berakhir jika Azka kelelahan, saya menyerah dan menuruti kemauan Zahra atau saya yang memenangkan insiden. Menakut-nakuti Zahra dengan ancaman tidak pernah mempan.
Sikap Zahra membuat saya intropeksi. Padahal kata mama saya, saat kecil sikap saya jauh berbeda dengan Zahra. Saya penurut dan lebih cenderung ke penakut. Apa yang dilarang mama diturut dan takut jika sampai mama atau bapak marah.
Sikap egosentris dan semau gue Zahra menjadi perhatian tersendiri untuk saya dan suami. Kami memikirkan cara agar Zahra manut terhadap kami tapi kritis. Lalu kami terinspirasi salah satu episode serial The Nanny soal hukuman kursi. Hukuman kursi adalah hukuman yang kami sepakati, saya, suami dan Zahra, dengan cara mendudukannya di kursi jika Zahra tidak mengikuti nasehat atau larangan kami dengan cara mengamuk dan melemparkan mainannya. Tidak boleh beranjak sampai tangis atau amukannya reda dan meminta maaf atas kesalahannya. Hukuman yang hanya diterapkan jika nasehat, pengertian, bujuk rayu sampai mendiamkan tidak cukup mempan untuk membuat Zahra menuruti nasehat atau larangan kami. Bukan hukuman untuk kenakalan Zahra. Saya tidak setuju dengan pelabelan nakal terhadap seorang anak balita, karena apa yang diketahui soal nakal atau tidak anak seusia itu? Tapi sikap Zahra yang kadang semau gue dan egosentris, melanggar kesepakatan yang sudah kami sepakati bersama.
Tapi hukuman itu jarang terjadi karena Zahra akhirnya mengerti, sekalipun dia mengamuk kami tidak akan menuruti kemauannya jadinya Zahra lebih sering menurut walaupun dengan muka ditekuk atau terisak. Seiring bertambahnya usia yang mei mendatang berusia 4 tahun, Zahra sudah tidak tantrum lagi. Namun begitu bukan karena Zahra berubah menjadi penurut dan penakut seperti saat saya kecil tapi karena Zahra lebih paham hukum sebab akibat dari penjelasan yang selama ini saya ulang-ulang. Zahra tumbuh menjadi anak yang percaya diri dan mandiri, salah satunya karena kami pun berusaha memberi reward berupa pujian, pelukan atau ciuman jika dia berlaku baik.
hadiah untuk Zahra: jalan2 ke KidZania
Hukuman pun kami rubah, bukan hukuman kursi lagi tapi hukum penawaran. Zahra tidak boleh nonton tv jika marah dengan melempar mainan. Zahra tidak boleh main games jika menolak membereskan mainannya sendiri dst.
Ada yang unik saat Zahra mendapat hukuman kursi. Zahra benar-benar duduk di kursi sampai hukuman berakhir tidak berontak dengan cara turun dari kursi. Ia hanya berkata berulang-ulang,”Aku tidak mau dihukum.”
Akhirnya saya menemukan jawaban dari pertanyaan,”Apakah semua anak mengalami fase dengan sikap seperti yang Zahra tunjukan?” Dari sebuah buku berthema parenting*. Dalam buku itu dijelaskan ranting saraf di otak anak tumbuh saat si anak melakukan hal baru. Makin banyak ranting saraf makin cerdas seorang anak. Namun saat si anak ingin melakukan hal baru, banyak orang tua melarang dengan alasan takut ini itu. Takut jatuh, Takut pecah dst. Pemberontakan si kecil bisa dibilang adalah cara Tuhan agar para orang tua tidak menggangu pertumbuhan itu. Yang harus dilakukan para orang tua adalah mencairkan sikap itu, salah satunya dengan membiarkan anak mencoba hal baru dengan pengawasan, memberi penjelasan dan pengertian. Penjelasan yang membuat saya lega dan optimis.
Ini mengingatkan saya dan suami satu hal, bahwa kami harus selalu bersiap dengan ilmu baru dan tambahan kesabaran selama mendampingi anak-anak hingga mereka tidak perlu lagi sandaran kami dan siap melepaskan mereka menjelajahi kehidupan dan bumiNya. Doa kami menyertaimu selalu, Nak.
Keterangan;
*Buku Ayah Edy menjawab.
Tulisan ini di-share dalam rangka mengikuti “GA GOLDEN MOMENT WITH YOUR CHILD” yang diadakan oleh penerbit byPASS
Tulisan ini di-share dalam rangka mengikuti “GA GOLDEN MOMENT WITH YOUR CHILD” yang diadakan oleh penerbit byPASS