Cerita Kami



Jam di dinding menunjuk angka sembilan ketika dengan langkah mengendap-ngendap saya beranjak dari kamar tidur anak-anak. Mengambil laptop dari kamar saya, membawa ke kamar anak-anak dan membukanya di tempat tidur, di samping anak-anak yang telah tertidur lelap lalu mulai membuka file-file di dalamnya. Membaca ulang beberapa tulisan dan mengeditnya. It’s my me time. Sambil menunggu suami pulang kerja, yang diperkirakan sampai rumah jam 11 malam karena dia baru keluar kantor jam 9, begitu pesan bbm yang saya terima. Menit menit bergulir tanpa saya sadari sampai kemudian terdengar rengekan Khalif (2 month) dan memaksa saya menekan tombol    pause sambil mendesah pelan.  Resiko alamiah seorang  mama bukan? Saya menyusui Khalif tak lama dia kembali tertidur.

Saya kembali menghadap laptop bersamaan dengan itu saya teringat ide suami saat menghadiahi saya laptop ini. Ide yang awalnya saya tolak karena saya memilih dibelikan tambahan lemari dapur.
Lagipula saya tidak terlalu butuh laptop toh PC yang duduk manis di meja kerja baru beberapa bulan ganti termasuk monitor dan speakernya. Kalau butuh laptop saya bisa meminjam laptop suami. 

“Lha, mama kan suka ngeluh pengen nulis, pengen ngeblog tapi sering terpotong rengekan khalif dan harus bolak-balik kamar. Kalau laptop kan enak bisa nulis dimana dan kapan aja, sambil nunggui Azka gambar, nonton, atau kalau kebetulan nganter les."

Ya, hobi membaca dan menulis saya lakukan di sisa waktu sebagai seorang karyawan, momong anak, melayani suami .

“Iya sich tapi belum urgent.” Dalam benak saya masih terbayang  lemari dapur yang kami lihat di toko furniture tempo hari. Lagi diskon!

Tanpa diduga hari minggu sepulang berolah raga suami  membawa laptop baru untuk saya. 


Saya  terharu tapi tidak menunjukkannya hehehe. Bayangan lemari dapur pun lenyap dari benak saya.

Inilah hadiah terindah yang saya dapatkan dari suami, karena dengannya saya bisa lebih banyak menuangkan ide dan kenangan mengenai kebersamaan keluarga kecil kami.

*Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blogging quiz Mazda Motor Indonesia

 Cerita Keseharian Kami



Pelajaran Bermain di Luar Rumah


Saya dan suami sama – sama lebih suka jika putri sulung kami Azka Azzahara (4y5m) bermain daripada membiarkannya  lama-lama duduk manis di depan tv.  Bukan berarti Azka tidak pernah nonton tapi kami membatasinya. Bermain di dalam rumah atau di luar rumah, entah itu sekedar memunguti bunga kamboja yang berjatuhan, memberi makan kucing liar atau bermain dengan teman sebayanya. Saya memilih menambah budget membeli buku, kertas, krayon dan cat air dibanding berlangganan tv kabel. Karena kami percaya Play is the begining of knowledge.

Tapi membiarkan anak bermain di luar rumah, berinteraksi dengan teman sebaya dan bersinggungan dengan beragam orang bukan tanpa resiko. Itu saya sadari baru-baru ini saat  Azka mengatai adiknya yang baru berumur 8 bulan dengan perkataan bodoh. Satu dari kata-kata negatif yang saya dan suami sepakati tidak diucapkan selama membimbing anak.

“Bukan bodoh tapi dede belum bisa masih kecil,” ralat saya.
“Kakak dari mana dapat kata itu?”
Azka diam.
“Azka dibilang bodoh sama siapa?”
“Sama  bang A,  karena aku tidak bisa naik sepeda roda dua.”



“Azka nggak bodoh tapi masih belajar. Azka gak boleh ya bilang bodoh ke orang. Kasar dan gak sopan. Dan tidak ada orang bodoh tapi belum belajar dan belum latihan.”

Azka mengangguk tanpa berani menatap saya. Selang beberapa hari berikutnya saya mendapat laporan dari pengasuhnya kalau tadi sore Azka menasehati teman sebayanya saat temannya itu berkata bodoh.

“Nggak boleh bilang bodoh. Kata mama itu kasar. Nggak sopan.” teteh pengasuhnya  menirukan perkataan Azka. 

Kejadian selanjutnya, saya dibuat terkejut dengan sikap Azka saat saya memintanya men pause dulu film yang tengah ditontonnya saat menjelang adzan magrib. Padahal menghentikan aktivitas menonton atau bermain menjelang adzan magrib adalah hal biasa dan Azka biasanya mengerti karena dia pun saya ajak sholat dan membaca iqro.

“Nggak mau!”katanya dengan nada setengah membentak dan mata yang dipelototkan.
Saya terkejut dengan bentakan dan pelototan matanya. Saya berusaha tidak membentak anak dalam mendidik anak walaupun dalam beberapa kesempatan bentakan itu tak terhindarkan jika nasehat halus dan bujuk rayu tidak mempan dan yang saya larang itu membahayakan.
“Nantikan boleh nonton lagi kalau sudah sholat dan baca iqro,” ulang saya.

“Aku gak mau! Nggak mau sholat! Mau nonton!” saya makin heran dengan sikap Azka.
“Filmnya tidak dimatiin cuma di pause. Ayo sayang,” Saya mendekat ke arahnya dan mengulurkan tangan untuk mengambil remote control.

“Nggak mau!” teriak Azka sambil melempar remote control belum habis kekagetan saya Azka menangis sambil memukul-mukul saya dan berteriak. Ini bukan gaya Azka banget.
Akhirnya teteh pengasuhnya angkat bicara, kalau tadi sore Azka melihat anak tetangga yang juga teman sebayanya tengah menangis sambil berteriak-teriak, melototi  dan memukul-mukul mamanya karena keinginannya tidak dipenuhi.

“Azka kenapa mukul mama? Mama kan nggak jahat hanya minta Azka stop dulu nontonnya untuk sholat magrib dan baca iqro. Berteriak, memukul dan melototi mama sama dengan melawan orang tua dan itu tidak baik. Nanti yang marah bukan hanya mama tapi Allah. Allah tidak sayang lagi sama Azka.”

Sejak hari itu tangisan Azka kembali normal.
Tidak pernah terlintas dalam pikiran saya untuk mengurung Azka dalam rumah dengan alasan agar tidak meniru hal atau sikap yang buruk. Karena interaksi dengan lingkungan adalah hal yang tidak bisa dihindarkan. Kelak ia akan memasuki lingkungan sekolah dan kehidupannya. Tugas saya dan abinya adalah membekali dan membimbingnya agar lingkungan buruk tidak mempengaruhinya tapi bagaimana dia bisa mengambil pelajaran dan memberi pengaruh positif pada lingkungannya.
Karena keleluasan bermain yang kami berikan pada Azka, Azka memiliki cukup rasa percaya diri dan berani.

Ketika Gugur

Edar 17 - 30 September 2012

Mitos dan fakta seputar keguguran. Tulisan ditulis dengan konsultas ahli dr. Syarifah Fitriyani. SpOG. Dokter di rumah sakit Hermina Bogor