Pelajaran dari Dinda
Beberapa minggu lalu salah satu trending topik di beberapa portal
berita, medsos dan televisi adalah status seorang gadis bernama Dinda. Dinda pun di kecam banyak orang terutama
perempuan dan kaum ibu. Buat yang belum tahu apa isi status Dinda bisa di
googling.
Sebagai pengguna KRL walaupun tidak setiap hari, saya tahu
dan merasakan rasanya berdiri berjam-jam plus berdesakan sampai saking
berdesakannya, merasa tak perlu menegakkan badan karena badan sudah tertopang
penumpang yang menghimpit kiri-kanan depan-belakang.
Bisa mendapatkan tempat duduk itu
seperti anugrah. Tapi betapa tak enak hati, walaupun pura-pura tidur, ternyata
tepat di depan saya, seorang ibu berdiri membawa anak balita. Jadilah dengan (harus)
rela saya memberikan tempat duduk saya. Jujur sayja
dalam hati sempat terbersit pikiran-pikiran; Duh kenapa sih si ibu di takdirkan
berdiri di depan saya? Coba kalau tadi saya pilih bangku tengah ya atau coba
kalau saya tidur beneran. Yap, saya memang bukan orang super baik dan tulus,
jadi ya berandai- andai saya duduk dan tidur heheh. Namun di sudut hati yang
lain, saya bahagia dan sedikit tersanjung dengan senyuman dan rasa terima kasih
yang diungkapkan si Ibu.
Jadi intinya saya memberikan
tempat duduk saya karena rasa empati. Kalau saya ada di posisi dia (bawa balita
di kereta), pasti ingin duduk agar bisa memangku si kecil, gak safety lho
membiarkan si kecil terhimpit sana-sini. Bisa kehabisan oksigen, terinjak
(kakinya), terdorong dsb. Sama halnya dengan ibu hamil, mana tega ya melihat
perutnya ke tekan penumpang lain atau berdiri membawa beban yang tak beda
dengan mengendong seorang anak.
Gara-gara kasus Dinda saya jadi mengevaluasi diri, sudah
sejauh mana saya mengajari , menstimulasi dan melatih anak-anak saya mengenai
empati? Ternyata masih minim.
Empati adalah kemampuan memahami
dunia dari sudut pandang orang lain, yang akan memotivasi seseorang berbuat
baik berdasar pemahaman itu. Empati
dipelajari seorang anak sepanjang hidupnya. Untuk bisa berempati dengan orang
lain, seorang anak harus mampu memahami terlebih dahulu apa yang orang lain
rasakan. Ia harus bisa memahami sebab-akibat dan kejadian secara menyeluruh,
misalnya saat ada orang lain yang terjatuh, maka orang itu akan merasakan
sakit. Empati ini akan
tumbuh sedikit demi sedikit. (sumber www.ayahbunda.co.id)
Stimulasi Empati untuk si Kecil
Dengan memberi empati pada anak. Misal, jika dia
jatuh, mainannya rusak , ungkapkan rasa empati padanya dengan pelukan atau ucapan menghibur atau
dua-duanya.
Menunjukkan pada si kecil
kepedulian kita pada lingkungan sekitar. Misal, menjenguk orang sakit, mengunjungi
yang baru melahirkan, merayakan syukuran ulang tahun si kecil di panti asuhan,
membantu korban bencana dsb.
Memberi ruang cukup untuk anak bergaul/berinteraksi dengan teman-temannya akan membuatnya belajar rasa empati.
Mudah, tapi kerap terabaikan, merasa tak perlu mengajak si kecil mengunjungi teman atau tetangga yang melahirkan, merasa tak perlu si kecil tahu bantuan yang diberikan pada korban bencana, merasa tak perlu memberi tahu kalau saya akan menjenguk orang sakit. Pertanyaan kenapa, Ma? Akan membuatnya memahi sikap empati saya.....untunglah Dinda
mengingatkan.
selain empati si kecil juga harus diajarkan mengucapkan terima kasih ya mbak. Biasanya kalau aku akan memangku anaknya aja kalau pas lagi cape gak mau berdiri :)
BalasHapusbermain dengan boneka juga bisa melatih empati mbak, tapi kebanyakan anak cowo sengaja dijauhkan dari mainan itu
BalasHapusUntuk bisa mengaplikasikan rasa tulus memang harus banyak belajar dan praktik ya, Mba.
BalasHapusBanyak yg mendapat hikmah dr kasusnya Dinda. Trmasuk saya. :)
bener, mak. kadang kita juga harus belajar mengerem rasa, ketika misalnya ada teman yang lagi sedih, harus ngerem biar ga komen yang malah curhat ttg bahagia. semacam itu memang harus dilatih sejak dini ya
BalasHapus