Akhir
Juni lalu, saya melepaskan label working
mom. Memutuskan berhenti kerja bukan hal mudah namun saya tidak mau
menyebutnya sulit. Yang pasti bukan hanya butuh waktu (kalau tidak salah hitung
butuh 2 tahun) untuk mempertimbangkannya,
juga menyiapkan keberanian.
Berani keluar dari zona nyaman dan memulai sesuatu yang baru dari nol.
Dan ini yang agak sulit.
Apakah
saya siap ketika ‘resign’ sudah diputuskan? Sama sekali tidak dan rasanya saya
tidak akan pernah siap jika tidak dimulai dengan nekat ‘resign’, walaupun suami mendukung penuh. Tidak siap tanpa penghasilan rutin milik
sendiri setiap bulan. Penghasilan yang membuat saya bisa memenuhi kebutahan
pribadi dan hobi yang termasuk kebutuhan sekunder, bisa sesuka hati membantu
orangtua dan saudara secara finansial. Dan tentu berbeda mengatur uang sendiri,
uang gabungan seperti selama ini dilakukan untuk semua kebutuhan rumah tangga,
dan uang suami.
Bisa
bertahan dan kuatkah saya menghabiskan semua waktu di rumah? Belajar dari
pengalaman dua kali cuti hamil, saya tahu
kadang ada rasa jenuh dan bosan menghabiskan waktu di rumah. Tak terasa sudah empat bulan saya tahan
sepanjang hari bersama anak-anak. Tapi bukan tidak ditingkahi keluh kesah
karena tak kuat menahan sabar. Baru benar-benar terasa kalau jadi orangtua itu
harus super sabar hehehe. Keluh untuk rasa bosan yang kadang datang menyelinap.
Untunglah
selalu ada kejutan tak terduga dari anak-anak yang membuat rasa bosan luruh dengan sendirinya.
Azka dan Khayalannya |
Kejutan
manis dari Khalif (1y10m) ternyata dia memiliki kebiasaan mengalungkan
tangannya ke leher dan mencium dengan mesra. Khayalan dan imajinasi kaka Azka yang selalu membuat saya senyum-senyum sendiri dan tak tahan memotret.
Namun
ujian kesabaran tak kalah hebat. Mungkin
bagi mama lain hal biasa, tapi bagi saya butuh kesabaran ekstra. Seperti saat
menyuapi Khalif yang bisa memakan waktu
satu jam atau sebaliknya tidak mau makan. Dan saya pun segera memasak menu yang
mungkin dia suka. Tak heran jika dalam satu hari saya bisa memasak banyak menu
hanya demi Khalif mau makan.
Kalau
ternyata tetap tidak mau makan? Hormon pemicu stres agak naik, gimana kalau
sakit? Gimana kalau kurang gizi?
Dan saya
baru tahu, kalau Khalif takut di tinggal. Ditinggal mandi nangis, ditinggal
sholat nangis, ditinggal ke dapur nangis...intinya saya harus nempel.Awalnya
membuat saya kepo sampai konsultasi khusus ke psikolog. Ternyata apa yang
dialami Khalif adalah hal wajar, karena usia itu anak sedang menumbuhkan trust
pada seseorang. Dan tentu saja saya merasa Azka tidak seperti itu lha wong
setiap hari 10 jam dihabiskan di kantor dan perjalanan pulang pergi, jadi tidak
tahu.
Ehm,
jangan dikira tidak rindu hangout
bersama teman-teman sepulang kerja. Untuk menyiasatinya bisanya saya mencuri
waktu untuk nge mall saat si sulung
sekolah sementara Khalif di tinggal bersama art di rumah atau hadir di
acara-acara kopdar komunitas online saat weekend.
Setiap
keputusan ada konsekuensinya, yang pasti sampai detik ini saya tengah berusaha
menyiasati rasa jenuh, bosan, dan tidak sabar, menjadi hal-hal menyenangkan
untuk saya dan keluarga. Karena kebahagian saya akan tercermin pada kebahagian
dan tumbuh kembang anak-anak. Yang pasti saya tidak menyesali keputusan saya :)
dirumah juga kerja kan mbk??masak,nyuci,nganter anak sekolah dll hehehe....yg penting silaturahmi sama teman2 sekantor g putus ya mbk ^^
BalasHapusKalau istilah jawa tuh "nggerongan", Mba. Ketika ada Ibunya, anak maunya nempel terus. Sekarang sudah ada Blog, tidak mudah bosan pastinya ya, Mba. :)
BalasHapusmak Rinaa, terenyuh liat Azka dan Khalif...semoga mereka makin bahagia dan kreatif (ngerjain) mamanya di rumah yaa...hahahahaaa
BalasHapusBegitulah, semua harus dipaksakan untuk memulai. Menjadi ibu rumah tangga memang berat dan banyak ujiannya, berbeda dg dunia kerja yang hanya statis. Ibu rumah tangga adalah suatu pekerjaan dinamis yg mulia dan terhormat
BalasHapusInsya Allah bisa menjalaninya ya mbak. sama-sama ibur rumah tangga kita sekarang :)
BalasHapus