Motor untuk Tenaga Kesehatan

 Motor untuk Nakes 

Saat anak-anak masih balita dan saya bekerja, kami memiliki seorang ART yang bersalah dari sebuah desa di pinggiran kota Garut.  Dia cerita jika puskesmas di desanya hanya buka 2 atau 3 hari dalam seminggu. Ada puskesmas yang buka dari senin hingga sabtu tapi jaraknya sangat jauh. Saat itu saya heran, masa iya puskesmas tidak memberi pelayanan setiap hari, bagaimana kalau ada pasien sakit? Setelah cari informasi ternyata itu namanya puskesmas pembantu jadi memang tugasnya tidak melayani setiap hari. 

Tenaga kesehatan diantar jemput motor YKS


Di kampung yang terletak di pulau Jawa saya yang notabene tidak terlalu jauh dari ibukota, akses kesehatan tidak mudah, apalagi di pulau kecil dan daerah terpencil. Jadi saya tidak heran ketika membaca atau menonton berita jika akses kesehatan sulit didapat.

Salah satu penyebabnya karena jumlah nakes terbatas, perbandingan jumlah  penduduk dan nakes sangat tidak ideal, kendala geografis dan kendala kesejahteraan nakes di daerah. Hanya nakes yang punya  jiwa idealisme yang bertahan melayani kesehatan di daerah terpencil.

Mengenai kendala geografis nakes di daerah terpencil, dialami para nakes di Larantuka Provinsi NTT, sebuah kecamatan sekaligus ibu kota kabupaten Flores Timur. Larantuka berada di bawah kaki gunung Mandiri yang merupakan wilayah pesisir, sebagian masyarakatnya tinggal di perbukitan yang minim akses transportasi.

Akibatnya jika masyarakat membutuhkan akses kesehatan sulit, begitupun sebaliknya, nakes yang akan memberi pelayanan ke sana pun kesulitan.

Hal ini menggerakkan hati Mansetus, lelaki kelahiran 5 Januari 1976 dari desa Lewoleba mendirikan Yayasan Kesehatan untuk Semua (YKS) pada tahun 2022. Mansetus mengumpulkan anak-anak muda dan mengajak mereka untuk bersepeda motor membawa para bidan desa dan paramedis mengunjungi wilayah yang sulit dilalui transportasi.

Mansetus berinisiatif meminjamkan motor dan memberikan pelayanan perawatan mesin motor berkala secara gratis untuk membantu para bidan, dokter dan mantra di Larantuka agar bisa menghampiri pasien dan ibu hamil yang melahirkan.

Desa minim alat transportasi 

Mansetus membeli 13 sepeda motor untuk bidan desa dan petugas kesehatan di lima kecamatan di Flores Timur. Untuk perawatan motor, setiap 2000 km perjalanan disediakan bengkel. Hal ini tentu agar tidak ada lagi kendala saat membantu masyarakat yang sakit.”Agar selalu siap bereaksi dalam kondisi darurat,” ujar Mansetus.  

Motor lebih gesit menjangkau desa-desa yang jauh di pelosok, berpuluh kilometer dari kota kecamatan. Motor lebih mudah pula naik turun perahu menyeberang pulau. 

Sebenarnya struktur alam kawasan itu relatif rata, dominan oleh hamparan padang savana. Namun, kondisi jalan berlubang menganga di banyak tempat, jalanan yang sekadar dikeraskan dengan tumpukan bebatuan lepas serta beratnya medan yang mesti ditempuh (panas dan berdebu bila kemarau serta berlumpur dikala penghujan tiba), lebih memungkinkan ditempuh dengan motor. 

Mansetus menjelaskan sebelum ‘ambulans’ roda dua ini beroperasi kematian pasien terutama ibu dan anak di Flores Timur hampir setiap hari terjadi. Alasan yang membuat miris karena kadang sebetulnya penyakit yang diderita bukan penyebab kematian hanya karena terlambat pertolongan jadi meninggal.

Mansetus adalah putra daerah dari NTT, tidak seperti pemuda lain di sana yang memutuskan merantau karena minimnya pekerjaan di sana, Mansetus memutuskan pulang kampung setelah menempuh mendidikan Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang. Selepas kuliah dia bekerja sebagai jurnalis sebagai wartawan harian Surya Timur. Namun tahun 2000 Mansetus memutuskan menjadi penulis lepas. Suatu hari ia meliput acara Focus Group Discussion (FGD) bersama petugas kesehatan dan penyuluh lapangan keluarga berencana se Kabupaten Flores Timur pada Juli 2022. Dari diskusi ini terungkap jika banyak ibu dan bayi meninggal karena terlambat dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan atau petugas yang datang terlambat karena minimnya transportasi.

Hal ini mengingatkan Mansetus pada masa kecilnya di mana banyak anak kecil dan balita di desanya meninggal karena terserang diare. Penyakit yang sebenarnya tidak mematikan jika ditangani dengan cepat tapi karena akses pada tenaga/tempat kesehatan sulit, anak-anak ini harus meregang nyawa.

“Puskesmas hanya ada di kota kecamatan yang jaraknya sekitar sepuluh kilometer dari desa kami,” kata Mansetus. Jarak yang jauh, infrastuktur jalanan yang buruk serta sarana transportasi yang nihil menjadi biang keladi. Pertolongan medis terlambat, nasib bocah-bocah penderita diare itu berakhir di liang lahat. Hampir setiap hari ini terjadi. “Celakanya, pemerintah pun tak tahu tentang wabah ini, karena waktu itu tak tersedia alat komunikasi,” tambahnya.    

Transportasi umum yang ada di sana adalah truk. “Truk ini hanya beroperasi seminggu sekali pada hari pasar yang berlangsung di pusat kecamatan,” cerita Mansetus. Dengan demikian, andaikata ada seorang yang sakit pada hari Rabu, sedangkan truk penumpang berjalan pada hari Selasa, maka si pasien harus menunggu satu minggu lagi untuk bisa sampai ke Puskesmas di kota kecamatan.  

Alat transportasi yang tersedia setiap saat hanya ojek motor. Namun, sarana angkutan ini tak ramah di kantong, ongkos ojek mahal bisa dibanding struk tagihan berobat. 

Infrastruktur jalan yang buruk dan alat transportasi yang tak memadai menghambat warga Flores Timur pedesaan menjangkau fasilitas kesehatan dengan cepat. Juga sebaliknya, petugas kesehatan pun menjadi tak leluasa mendatangi seluruh warganya. Fasilitas kesehatan masih terbatas baik dalam ketersediaan sumber daya manusia (SDM) maupun kelengkapan prasarana pendukung seperti alat transportasi. Puskemas hanya ada di kecamatan dan ada sebuah saja rumah sakit di ibu kota kabupaten.  

Praktis dukun kampung menjadi pilihan tempat berobat satu-satunya. Pengobatan non medis ini, kenang Mansetus, tak mampu menyelamatkan nyawa-nyawa yang membutuhkan pertolongan cepat: persalinan emergensi pun pasien-pasien darurat lainnya. Kisah duka kematian pun tak terbendung. 

Mansetus tidak mau hal yang sama terulang pada anak-anak di NTT. Tekad itu membawanya meninggalkan Kupang dan merantau di Larantuka dan mendirikan YKS.  

Rio Dewanto mengapresiasi apa yang dilakukan Mansetus karena
sangat inspiratif 


Apa yang dilakukan Mansetus sudah banyak menyelamatkan nyawa ibu dan anak di Larantuka, hal ini membuat banyak pihak mengapresiasi. Mansetus mendapat penghargaan dari Satu Indonesia dari Astra.


Referensi 

Www.satu-indonesia.com

Www.jayakartanews.com

Www.mobilindo.com

Tidak ada komentar