Starbucks-er VS Team Mendang-Mending

Starbucks-er VS Team Mendang-Mending

Minggu lalu bahasan  FB lagi rame tentang starbak. Awalnya heran kok beberapa teman kompakan bikin status soal starbak. Langsung kepo donk, cari  jawaban di kolom komentar adalah jalan ninja hahaha. Oalah ternyata status-status ini untuk mengkomentari status  yang menyindir pelajar smp yang nongki di starbak. Entah bagaimana status pertama yang memicu banyak status soal starbak, yang saya tangkap dari status dan komen netizen/teman-teman adalah, ya ga apa-apa anak smp ngopi si starbak, duit-duitnya. Harga starbak mahal buat golongan tertentu, bagi sebagian golongan ya murah, lha orang Indonesia banyak yang kaya. Mungkin jajan kopinya pake diskon atau ditraktir. Mungkin anak smp itu sesekali aja jajan starbak.

Ya memang nggak salah anak smp jajan kopi starbak kalau uang jajan dari ortunya cukup. Yang salah kalau maksain demi gengsi, biar terlihat keren, bahaya untuk masa depannya, kenapa? Jadi generasi kurang pintar finansial karena apa-apa dinilai dari gengsinya.

Ya kurang lebih seperti itulah ya temans…

Tenang-tenang tulisan ini ga akan lanjutin ghibah anak smp yang ngopi di starbak, tapi ngomongin diri sendiri yang kalau jajan banyak mikir mendang-mendingnya hahaha. Maklumlah saya generasi yang  masa kecilnya  sudah merasa mewah kalau makan roti oles mentega dan tabur gula pasir. Generasi masa kecil yang lebih akrab dengan bajigur daripada kopi. Jadi begitulah jiwa mendang-mending masih  tertanam walaupun mampu beli sesuatu mikirnya lama. Urgent ga? Butuh banget ga? Atau karena pengen aja? Apa ini masuk katagori pelit?

Pada suatu masa (sebelum pandemi) suami saya suka banget ngopi starbak. Saya yang begitu lihat harganya langsung memelototkan mata, waktu itu harganya masih kisaran  30 ribu. Alasan pak suami ngopi starbak katanya,“Kopinya enak, susunya terasa, manisnya pas.”

Iya sih pas dicicipin emang enak tapi kalau belinya keseringan, hampir tiap hari? Pak suami merasa perjalanan ngantor butuh effort besar, mampir di beli kopi di starbak itu jadi semacam kebutuhan.

Ga cuma kalau ngantor, kalau kami weekend jalan-jalan pun mampir ke starbak sebentar pesan kopi take kalau ditawarin saya lebih sering nolak, cukup icip-icip.   

Suami merasa itu salah satu caranya menikmati hidup, menikmati hasil jerih payahnya kerja. Lha cuma sekian ribu, masih kecil dibandung gajinya sebagai senior manager di perusahaan (swasta) multinasional. Lagi pula uang dapur yang ditransfer ga berkurang karena jajan starbak. Tapi entahlah jiwa mendang-mending ini susah move on.

Sampai suatu hari saya pengen pindahin les bahasa Inggris si anak sulung ke tempat les lebih bagus, yang pake native speaker, biar cas cis cus gitu kalau ngomong, maklumlah emaknya bisanya sunlish- sunda inggris. Nyerahlah diminta ngajarin ngomong bahasa inggris, mending ngajarin  matematika sama kimia. Harga les bahasa Inggris dengan native speaker sebulannya sekitar 1 juta, tapi keuangan mepet. 

Ya walapun penghasilan suami besar, saya juga punya uang jajan sendiri walaupun ga besar sebagai freelancer tapi karena kami sama-sama generasi sandwich, punya tanggungan lain.

Dengan kesadarannya pak Suami ngurangin jajan kopi, budget kopi buat anaknya les  dan langganan aplikasi simply piano jadi anak-anak belajar piano/organ dengan mandiri, biar punya kegiatan positif dan menstimulasi. Suami juga jadi ga mikir lama kalau pas ke gramed anak-anak minta request buku banyak, katanya ntar  budget ngopinya dikurangin hehehe.

Jadi dampak suami ngurangin ngopi starbak seperti itu….

Dampak lain dari ngurangin mampir ke starbak ternyata jadi edukasi untuk anak-anak di rumah yang berusia remaja, mereka jadi tahu beli kopi di starbak itu karena  butuh ngopi bukan gengsi atau biar terlihat keren. Bisa membedakan kebutuhan, keinginan dan prioritas.

Suatu hari saya baca postingan IG Windy Teguh, banker, finansial planer bersertifikat yang rajin post konten keuangan, yang postingannya tentang mengurangi jajan kopi biar bisa nabung dan atau investasi, lengkap dengan hitungannya. Bisa intip di sini

Jadi keputusan saya meminta suami mengurangi (nggak melarang sama sekali ya, kasian doi kalau ga ngopi enak sesekali)  ngopi starbak benar donk ya hehehe. Jadi bukan soal pelit tapi prioritas. Bukan soal frugal living juga (lagi trend ini) tapi memilah prioritas.

Ya kalau Papa Rafi sama Mama Gigi saban hari ngopi stabak malah beli gerainya, ekonomi keluarga tetap stabil,  Rafatar bisa tetap sekolah dan les ini itu. Apalah kami yang harus mengelola keuangan dengan tepat hehehe.

Tidak ada komentar