Orang biasa dalam sejarah luar biasa*

Niatnya mau posting tulisan ini tepat tanggal 10 kemarin, sebagai tulisan persembahan hari pahlawan tapi eh tapi baru beres kelar hari ini.

Era pahlawan mengangkat senjata memang sudah lewat tapi melalui tulisan yang saya kutip dari buku Zaman Perang nya Hendi Jo,  saya mau mengajak  flash back sejenak, mengingat kembali bagaimana negara ini dulu diperjuangkan. Duh, kesannya jadi serius begini ...

Tepat pukul 06.00 pada 10 November 1945 – hari yang tidak akan terlupakan dalam sejarah panjang negara bernama Indonesia – tentara Inggris membombardir Surabaya hingga tengah malam. Akibatnya, ribuan orang (mayoritas rakyat sipil) tewas seketika. “Wajar bila hari pertama saja sudah ribuan. Di pasar Turi saja saya menyaksikan gelimpangan mayat berjumlah hingga ratusan,” ungkap Letkol (Purn) Moekajat. Ribuan pejuang tewas dan sekitar 200.000 rakyak sipil mengungsi dari neraka Surabaya. (hal 102)


Saat membaca bagian ini (dan bagian lain dari buku ini) saya haru dan mata berkaca-kaca, silahkan bilang saya lebay dan ratu drama ;p. 

Kendati hanya mengandalkan senjata tajam dan api peninggalan KNIL dan rampasan dari Jepang pemuda-pemuda Indonesia  melakukan perlawanan sengit. (hal 102)
Surat kabar the New York Times (edisi 15 november 1945) bahkan mengutip kata-kata para serdadu Inggris yang menyebut “The Battle of Surabaya” sebagai “inferno” atau neraka di timur jawa. (hal 103)

Kisah pertempuran di Surabaya tidak hanya berisi cerita-cerita heroik semata. Tapi juga cerita nyinyir dari sudut tergelap perjuangan. (hal 103)

Nah, pasti penasaran cerita nyinyir seperti apakah?

Dari cerita heroik di Surabaya  beralih ke Condet, daerah di Jakarta Timur yang kental nuansa Betawi dan masih banyak kampung Betawinya.  Bicara mengenai perjuangan rakyat Betawi tentu semua tahu cerita si Pitung walaupun tidak tahu ceritanya secara  lengkap, setidaknya pernah dengar film atau namanya. Yap, Pitung adalah tokoh Betawi asli yang gigih melawan kompeni pada jamannya dan Pitung hanya satu dari sekian jagoan dan haji Betawi yang pada masa itu berani mati melawan kompeni.  Sebuah gedung tua bernama Villa Nova (yang kini hampir hancur) menjadi sanksi bisu bagaimana jagoan Betawi pada masa itu bertempur hingga mati.


Engkong Thalib (65) memang hanya mendengar cerita itu turun temurun tapi fakta “pemberontakan Tjondet” memang tercatat dalam dokumentasi pemerintah Hindia Belanda. Cerita yang terjadi pada sekitar bulan Februari 1916.

Buku sejarah, tepatnya kumpulan tulisan sejarah yang di tulis Hendi Jo ini memang beda, jika kebanyakan buku sejarah bicara mengenai angka dan deretan nama tokoh perjuangan yang sudah tidak asing lagi (karena wajib di hapal saat sekolah)  maka di buku ini saya temukan sense humanisnya yang kental.

Banyak nama pelaku sejarah  yang asing namun fakta sejarahnya tertelusur bukan hanya pada saksi hidup yang menjadi narasumber penulis juga kliping berita, buku dan catatan dari ahli sejarah luar maupun dalam negeri. Ini karena penulis yang memang seorang jurnalis dan sejawaran memiliki akses pada arsip sejarah di dalam dan luar negeri.

Ini adalah foto Tugu Pieter yang saya pinjam dari web. Arsipnasional.com. Yang pernah ke museum Prasasti di Jakarta pasti familiar dengan tugu ini. gara-gara tulisan mengenai Tugu ini saya jadi ingin sekali melihatnya secara langsung tapi belum sempat.

Tugu Pieter (sumber www.arsipnasional.com)
Tulisan berbahasa Belanda dan jawa di badan tugu itu, kira-kira begini terjemahannya.

“Sebagai kenang-kenangan menjijikkan atas di hukumnya sang pengkhianat Pieter Erberveld. Karena itu dipermaklumkan kepada siapapun,  mulai sekarang tidak diperkenankan  untuk membangun dengan kayu, meletakkan batu bata dan menanam apapun di tempat ini dan sekitarnya . Batavia 14 April 1722.” (hal 54).

Siapa Pieter dan bagaimana kisahnya bisa menjadi sebuah prasasti dengan kepala tengkorak menyeramkan di atasnya.

Ceritanya lengkapnya akan saya tulis di blog  resensi buku  saya  di www.momsbooksclub.blogspot.com.

Awalnya tulisan-tulisan dalam buku ini adalah note yang di tulis Hendi Jo di facebooknya. Selain catatan sejarah  Hendi Jo juga suka memposting foto-foto lawas bernilai sejarah berikut cerita singkat di balik foto itu.

Saya termasuk yang menunggu-nunggu note atau foto di berandanya. Mungkin karena saya tertarik dengan sejarah. Yang juga suka atau penikmat cerita sejarah seperti saya, bisa intif fb nya  Hendi Jo.

Who is Hendi Jo?
Pendiri sekaligus pengelola www.arsipindonesia.com. Setelah malang melintang menjadi peneliti dan jurnalis, tahun 2008 memutuskan menjadi jurnalis lepas. Tulisannya mengenai sejarah, politik dan keagamaan tersebar di berbagai media massa Indonesia.

‘Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah bangsanya sendiri’. (Bung Karno)


catatan:
Judul tulisan ini di ambil dari sub judul buku Zaman Perang  penulis Hendi Jo

2 komentar

  1. waah ada juga ya cerita nyinyir di kisah perjuangan. seru tuh kayaknya. just like the real life ya mbak

    BalasHapus
  2. Penting banget ni buku2 seperti ini, biar kita ngga lupa, Belajar dari masa lalu..

    BalasHapus