Motor versus Mobil*


Tinggal di Bogor dengan KTP Jakarta sering membuat ribet. Terutama untuk urusan administrasi. Dari urusan ktp, kartu keluarga, daftar pemilu sampai bikin SIM, terlebih saya buta Jakarta karena lahir dan besar di Bandung. Tapi suami yang lahir dan besar di Jakarta keukeuh sumekeuh ingin tetap KTP Jakarta.

Dua tahun lalu saya mengurus SIM ke Jakarta sendiri berbekal jalur kereta dan bis yang harus saya tumpangi.

“Ada apa-apa telepon aja,” pesan suami.

Urusan nyasar bukan masalah, pikir saya dalam hati. Tinggal naik taksi. Masalahnya gimana kalau di test naik motor manual. Saya kan bisanya motor matic doank. Gimana kalau di tes dalam jalur yang dibuat berbelok-belok? Saya kan belum bisa. Gimana kalau suruh membaca rambu jalan? Hanya beberapa yang saya tahu seperti dilarang parkir atau belok kanan langsung.

“Yang bikin SIM ratusan, gak mungkin di tes satu-satu. Paling diambil random dan hanya satu orang,” terang suami.
Lha, gimana kalau saya yang kepilih?

“Jangan berdiri di depan, ngumpet aja,” saran suami.

Ternyata urusan bikin SIM tidak seribet yang saya duga. Simpel dan SIM langsung jadi. Ya, kalau gak nembak ga bakal lulus dapat SIM. Dan itu sudah dibuktikan oleh suami, tiga kali bikin SIM tanpa nembak pulang dengan tangan hampa padahal sejak smp sudah menguasai jalanan kota Jakarta. 

Dan kini menggenapi tiga bulan pulang pergi bekerja mengendarai sepeda motor dan hati saya masih dag dig. Tak berani menyalip jika jalur kiri jika tidak benar-benar kosong, dengan sabar menanti angkot yang menaik turunkan penumpang, menjaga jarak cukup jauh dengan bis atau truk. Masih berkeringat dingin jika terjebak di kemacetan dan mengendara sepeda motor saya mengklakson untuk saya tetap melaju di jalur kanan yang sempit di himpit kendaraan roda empat. Biasanya saya memasang wajah cool dan tetap diam dengan sabar. Ya, saya gak mau nekat alias maksa mepet ke kanan, kalau  tersenggol dan jatuh apa yang mengklakson saya mau bertanggung jawab. 

Yap, walaupun sudah dua tahun sebelumnya wara-wiri dengan sepeda motor di perumahan tempat saya tinggal, baru tiga bulan ini saya memberanikan diri, lebih tepatnya dipaksa, memakai sepeda motor di jalan raya. Pemaksaan yang bukan tanpa alasan. Saya yang mendesak suami untuk dibelikan motor matic. Saya yang meminta suami mengajari saya naik motor walaupun takutnya setengah mati. Mengapa saya merasa perlu bisa mengendarai sepeda motor? Karena rumah tempat saya tinggal jaraknya dua kilo meter dari jalan raya yang sekaligus pintu masuk perumahan.   Tinggal  dalam cluster pula yang tidak ada warung. Minimarket terletak di ruko yang  tak jauh dari pintu masuk perumahan yaitu sekitar 2 kilometer dari rumah saya.  Jadi untuk efisiensi waktu dan hemat, menurut saya motor adalah keharusan. Tapi untuk urusan ke warung saya memilih mengendarai sepeda. 
 
antar Azka les

Begitupun urusan bekerja, kemacetan dan angkot yang sering ngetem membuat saya senewen dan kerap mengeluh karena wasting time itu berarti jatah waktu saya untuk anak-anak berkurang. Sepeda motor pilihan tepat bukan?  Selain irit. Sebenarnya ongkos naik bis atau angkutan umum ke kantor tak telalu mahal yang mahal justru tarif ojek dari rumah sampai depan jalan raya. Soal efisiensi, dengan membawa kendaraan sendiri saya bisa leluasa jika pulang kerja harus mampir membeli ini itu. Ya, walaupun semua kebutuhan di cover di belanja bulanan kadang ada barang consumable yang harus dibeli.


“Kalau mama takut itu wajar.  Ketakutan itu yang harus membuat kita hati-hati dan waspada. Jangan ngebut, jangan nyalip, jangan lupa lampu sen…..bla…bla…”
“Jadi mulai besok mama harus coba pake motor ke kantor?!”
Hah! Duh, kalau gak malu mau nagis rasanya. Sumpah takut. Suami tahu, saya tidak akan pernah berani kalau tidak dipaksa. Saya bukan perempuan cengeng dan manja tapi saya tidak punya cukup nyali, komentar suami. 

Yap, seperti yang sempat dikatakan suami, bahwa dia tidak mungkin stand by disamping saya dan keluarga terutama di hari kerja. Sesekali harus tugas ke luar kota atau luar negeri. Menjadi perempuan plus ibu memang dituntut serba bisa. Ada saatnya harus berperan ganda.
“Kayaknya lebih aman belajar mobil ya, Bi. Gak jatuh kalau kesenggol,” kata saya suatu hari pada suami yang tengah mencuci mobil.  

“Kita gak jatuh tapi yang kesenggol bisa mati.” Saya melonggo. “Betul kan, Ma. Apalagi banyak pengendara motor yang suka seenaknya nyalip-nyalip. Kalau gak cepat ngerem atau kurang sigap, dia  yang kesenggol kita yang berusan dengan polisi. Walaupun posisi kita benar, pengendara mobil yang suka disalahkan.
 
Saya kehilangan kata-kata untuk berkomentar.

“Maksudnya,  mama harus berani dan bisa motor agar jika mama sudah bisa mobil dan mengendarainya lebih paham kondisi jalan terutama paham karakter para pengedara sepeda motor. Mama jadi bisa lebih hati-hati dan sabar.”



Ehm, benar juga sich tapi selain itu, Abi jelas gak siap kan kalau  mobilnya baret-baret jika di pake Mama belajar karena mobil kantor hehehe. (rs)
 

*tulisan  dibuat sekitar setahun yang lalu.

Tulisan  ini diikutsertakan pada Kinzihana's GA.

5 komentar

  1. Klo sudah paham pengendara motor, sepertinya lebih relaks nyetir mobil...heheee, pegnendara motor keren-keren lo Mba, like me...hihiii

    http://www.astinastanti.blogspot.com/2013/06/si-merah-dan-si-putih.html

    Salam
    Astin

    BalasHapus
  2. lah, aku udah dua puluh tahun lebih naek motor, bahkan sampai ke luar kota, tetep gemetaran dan keringat dingin loh saat harus nyupir mobil. suwer, karena terbiasa naek motor yg cuma selebar badan kita sendiri, saat nyetir mobil tuh perasaan kayak mau nerjang pantat orang/motor di sebelah kiri melulu ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. hihiiiii, iya ya Mba...makanya aku enggak berani nyetir mobil

      Hapus
  3. ada salah satu tempat yang dalam pembuatan SIM ada permainanya jadi dibikin gak lulus supaya nembak ::)

    BalasHapus
  4. cerita soal sim : iya mak, kalau g nembak2 g akan lulus, adik saya pernah sampai 3 kali g lulus2, hingga akhirnya yang ke 4 barulah dia Nembak *padahal cuma tes naik motor trus disuruh belok2 eeh g lulus.

    Cerita keberanian naik motor : mak, saya dulu waktu dikampung sampe pernah ngebut paling cepat 70km/jam nah sekarang di purwakarta saya G BERANI sama sekali kalau harus naik motor dijalan raya, beraninya cuma disekitar perum. Oya pernah 2 kali ke luar jalan raya, itupun karena NEKAD, kalau g nekad ya g jalan. Habis serem sih mak, disini angkotnya suka berhenti mendadak, ditambah lagi mobil yang lewat gede2, seperti truck, kontainer dll.... Tapi bener kata emak, kita emak2 ini harus mandiri. G selamanya suami kita bisa nemenin ngantar sana ngantar sini... heheheh

    BalasHapus