Apa bedanya tinggal diperumahan
dan perkampungan? Bedanya terletak pada
keberagaman. Diperkampungan masyarakatnya lebih beragam baik secara status sosial,
ekonomi, latar belakang pendidikan, pola pikir dan pekerjaan. Dari pekerja karyawan
kantor, pns, pekerja pabrik, petani, pedagang sampai kuli. Bedakan dengan diperumahan (pengalaman tinggal diperumahan
setelah menikah selama 9 tahun) secara status sosial, ekonomi, dan latar
belakang pendidikan tidak terlalu jauh berbeda. Kebanyakan berkerah biru alias
karyawan, yang pergi pagi pulang malam, sama-sama lulusan perguruan tinggi.
Bahkan beberapa dari kami mungkin bacaan Koran, buku dan tontonannya sama.
Tinggal diperumahan, dimana
sama-sama pendatang, tidak terlalu sulit untuk beradaptasi. Bicara soal adaptasi,
itu juga yang saya khawatirkan saat
pemutuskan tinggal diperkampungan pinggiran kota. Khawatir tidak bisa berbaur,
khawatir pergaulan anak-anak. Ternyata karena saya dan suami, sedari kecil
tinggal di perkampungan (kampung tengah kota), membuat lebih luwes menghadapi
perbedaan. Sudah terbiasa dengan tetangga yang beda-beda. Bahkan kalau
dipikir-pikir, dan suka membuat saya dan suami tertawa, beberapa kebiasaan
diperkampungan pinggir kota tempat tinggal kami kini adalah kebiasaan yang dulu
(30 tahun lalu) kami alami, seperti masih adanya lacar tancap (agak amazing waktu pertama kali pindah dan
tetangga sebelah rumah ngadain layar tancap saat hajatan – dan filmya warkop
DKI sama Rhoma Irama :D), beberapa permainan anak-anaknya masih jadul. Ya,
walaupun mereka kenal gadget dan tv, mereka masih enjoy main layangan atau bola seharian. Kalau anak perempuannya
masih suka anjang-anjangan.
Internet yang Menyatukan
Lalu siapa sangka kalau internet
menyatukan kami yang pendatang dan warga asli yang sebagain besar profesinya petani dan mantan
petani (petani yang 'kehilangan' lahannya).
Berawal saat Pak suami memiliki
ide memasarkan hasil pertanian tetangga yang berupa bunga melalui internet.
Niatnya hanya membantu, kalau kami (saya dan suami) mengambil selisih, selisih itu digunakan
untuk biaya merchant (kami jualan di market place memilih yang bayar perbulan agar mudah terdeteksi pembeli dan ada dihalaman depan) dan iklan berbayar secara periodik di media sosial. Istilahnya, kami tidak mencari makan dari jualan bunga tapi dari gaji sebagai karyawan sebuah perusahaan swasta. Karena Pak suami kerja (nine to five), untuk operasional saya yang melakukan, Pak suami hanya melakukan yang bisa dikerjakan di depan laptop.
Ide yang muncul karena merasa sayang melihat puluhan hektar kebun anggrek, berlahan tapi pasti tergusur. Dulu ada puluhan hektar perkebunan anggrek di sini, kini tinggal tak sampai 10 hektar. Masih oke jika lahan yang tergusur (dibeli) membuat petani hidup mapan. Ini sebaliknya, mereka kehilangan pekerjaan (lahan), hasil jual lahan digunakan untuk bertahan hidup. Pola pikir mereka memang masih sederhana.
untuk biaya merchant (kami jualan di market place memilih yang bayar perbulan agar mudah terdeteksi pembeli dan ada dihalaman depan) dan iklan berbayar secara periodik di media sosial. Istilahnya, kami tidak mencari makan dari jualan bunga tapi dari gaji sebagai karyawan sebuah perusahaan swasta. Karena Pak suami kerja (nine to five), untuk operasional saya yang melakukan, Pak suami hanya melakukan yang bisa dikerjakan di depan laptop.
Ide yang muncul karena merasa sayang melihat puluhan hektar kebun anggrek, berlahan tapi pasti tergusur. Dulu ada puluhan hektar perkebunan anggrek di sini, kini tinggal tak sampai 10 hektar. Masih oke jika lahan yang tergusur (dibeli) membuat petani hidup mapan. Ini sebaliknya, mereka kehilangan pekerjaan (lahan), hasil jual lahan digunakan untuk bertahan hidup. Pola pikir mereka memang masih sederhana.
Bagaimana mereka bisa dengan rela
menjual lahannya?
Hasil jual bunga tidak sesuai effort kerja, baik tenaga maupun modal
yang meliputi, biaya perawatan, pupuk dan antihama. Salah satu penyebabnya daya
jual rendah karena adanya tengkulak. Jadi dulu, para petani tidak pernah tahu
harga pasaran bunga mereka dan tidak
bisa menjual langsung ke pasar bunga karena ada semacam preman yang menjaga di
sana. Akhirnya petani yang bertahan, petani yang nekad memutus jalur tengkulak,
menjual langsung ke toko florist.
Menurut kami lahan anggrek yang
tersisa sangat layak dipertahankan karena memiliki banyak potensi untuk
dikembangkan karena keunikannya. Dimana coba di Indonesia ada kebun anggrek
indoor (tanpa paranet dan pintu) seluas ini? Bisa selfie lho hehehhe. Bisa
dijadikan objek wisata edukasi yang tentunya membuat perekonomian masyarakat
sekitar meningkat begitupun pola pikirnya.
Support Local Farmers, Enrich Our Culture
Kami membuka diskusi dengan
beberapa petani di sini tentang rencana membantu menjual bunga mereka lewat
internet, terbuka mengenai harga, dan kami tunjukkan alamat toko onlinenya.
Jadi mereka bisa melihat juga harga yang kami jual. Mereka setuju terlebih
karena harga jual sedikit naik (kami jual sesuai harga pasar) dan mereka tidak perlu menempuh puluhan
kilometer untuk mengantarkan, karena kami menggunakan jasa kurir pengiriman
seperti Gojek dan Deliveree.
Ya, seiring waktu, seiring
kemajuan teknologi, terutama internet, modal usaha bisa dipotong cukup besar,
selain tak perlu lapak khusus untuk berjualan, tak perlu supir dan kendaraan
operasional milik sendiri, karena sekarang banyak jasa transportasi/kurir yang
mendukung tumbuh dan berkembangnya ukm.
Dan berkat dukungan jaringan 4G
LTE yang saya gunakan pada telepon seluler dan modem membuat saya bisa
mengakses internet dengan cepat, begitupun saat men download dan upload.
Diversifikasi
Siapa sangka, membuka jalan
rejeki orang lain ternyata membuka jalan rejeki saya secara pribadi. Berawal
dari beberapa customer yang mengira
kami florist dan menyediakan beragam
anggrek. Saya jadi menantang diri jadi florist ;). Akhirnya kami seriusi dengan menambah modal, memanfaatkan lahan tidur
warga, dengan cara kami modali dengan membeli bibit baru, beragam anggrek, membuat
green house, pupuk, antihama dan
pemilik tanah hanya mengelola, untuk perawatan anggrek saya yang turun langsung, keuntungan bagi hasil. Hasilnya mulai nampak, lahan tidur milik warga kini bisa menghasilkan hingga ratusan ribu rupiah bersih untuk pemiliknya.
Beberapa tetangga mulai
menitipkan tanaman hiasnya pada kami (bukan hanya anggrek) untuk kami jual. Jalan
rejeki lewat internet. Bisa berjualan tanpa harus memiliki ruko atau lapak
khusus yang mungkin tidak terjangkau para petani juga kami.
Keuntungan lain di jaman internet
ini semua orang memiliki kesempatan sama untuk maju dan berkembang, termasuk
peluang menangkap pasar. Seperti yang kami lakukan, beriklan lewat internet
(media sosial) dengan tarif terjangkau namun menjangkau banyak calon customer
dari seluruh pelosok tanah air.
Iklan hard selling kami lakukan dengan iklan berbayar di media sosial
secara periodik. Iklan soft selling
saya lakukan melalui media sosial pribadi saya yaitu blog dan instagram dengan
cerita pengalaman sebagai pedagang bunga.
menyenangkan, tiap hari ketemu bebungaan, pasti ayem di hati. salam kenal mb Rina ^^
BalasHapusMbak Rina....salut sama niat baik Mbak Rina dan Pak suami yang akhirnya berbuah manis. Kapan-kapan jadi pengin main nih ke kebun Anggreknya Mbak Rina. Boleh ya? Waah .internet memang ajaib ya. Saya juga sudah pakai XL dari tahun 2004 loh sampai sekarang
BalasHapus