'Drama' di Kehamilan Pertama

Dua kali hamil, sama-sama hamil kebo. Saya tidak tahu dari mana istilah hamil kebo itu berasal. Hanya beberapa kerabat, teman dan tetangga yang kadang memberi istilah itu untuk kehamilan saya karena saat hamil tidak merasakan banyak keluhan. Tidak morning sick, tidak ngidam yang aneh-aneh, tekanan darah normal sampai melahirkan, mengalami bengkak di telapak kaki tapi masih dalam kondisi biasa – tidak sampai tidak bisa berjalan atau kesakitan. Selama hamil saya tidak pernah cuti kerja gara-gara keluhan kehamilan. Ada sih sedikit keluhan yaitu lemes, sering ngantuk dan sering buat air kecil, tapi masih dalam batasan sangat bisa di kendalikan.



Enak banget ya hamilnya...
Alhamdulillah, saya tidak henti bersyukur untuk hal itu. Tapi Tuhan selalu punya skenario untuk membuat hambanya bertambah kuat. Skenario untuk membuat hidup sesekali seperti naik roal coaster; deg-deg an, takut, senang, berharap-harap cemas dan melatih mental untuk tidak mudah menyerah pada keadaan.   .

Begitu juga saat kehamilan pertama saya. Jika sebagian ibu hamil bermasalah dengan keluhan khas selama kehamilan, saya harus bergelut mengatasi stres karena  masalah lain.

Untuk mama – mama yang juga mengalami hamil kebo walaupun fisik kuat tetap harus jaga kondisi artinya jangan merasa kuat lantas bekerja seolah tak hamil. Tetap hati – hati.
Sayangnya, saya jarang kepikiran mengabadikan momen kehamilan dengan foto. Dan ini adalah foto saat hamil dan tetap bisa ikut training dari kantor ke luar kota.

Melanggar perjanjian
Kehamilan pertama hampir bertepatan dengan satu tahun usia pernikahan, sehingga kami menyebutnya sebagai kado ulang tahun pernikahan. Bertepatan pula dengan kepindahan saya bekerja di Bogor yang artinya petualangan saya sebagai weekend wife berakhir. Ya, selama ini saya dan suami hanya bertemu setiap akhir pekan karena saya bekerja dan tinggal di Bandung sementara suami tinggal dan bekerja di Jakarta.  Karena jarak dan moda transportasi Jakarta Bogor mudah di tempuh bolak-balik maka suami yang mengalah untuk pulang pergi Jakarta Bogor.

Tepat sebulan bekerja saya positif hamil. Perasaan saya campur aduk antara bahagia dan khawatir karena dalam perjanjian kerja yang tidak  tertulis, perusahaan melarang saya hamil selama satu tahun. Walaupun saya menyanggupi  tapi saya tidak melakukan pencegahan dengan memakai kontrasepsi. Hanya KB kalender, memakai ‘sarung’ atau di keluarkan di luar. Sedikit banyak, pilihan tidak memakai alat kontrasepsi karena mitos yang dikatakan orang tua jika memakai alat kontrasepsi sebelum punya anak membuat peranakan jadi kering atau nanti akan susah jika mau punya anak kalaupun KB sudah di buka. Selain itu, kami pun sebenarnya memang ingin segera punya momongan mengingat usia kami sudah mendekati kepala tiga.

Gak mungkin donk menggugurkan kandungan hanya gara-gara takut di pecat. Tapi mengingat bahwa saya akan di pecat karena melanggar perjanjian kerja juga nyesek, karena kami bukan hanya di tuntut mandiri secara finansial oleh keluarga tapi membantu keluarga masing-masing. Sebagian gaji suami untuk biaya ibunya yang sakit-sakitan, sebagian gaji saya untuk bantu biaya sekolah adik-adik.

Emosi penuh drama
Bingung, khawatir, takut, bahagia (karena hamil) tumplek jadi satu. Atasan langsung saya tidak punya wewenang untuk mengambil keputusan dalam hal ini jadi dia menyarankan untuk bilang ke hrd. Ibu hrd yang selalu ceria, energik dan ramah ini merespon berita kehamilan saya dengan ucapan selamat yang hangat. Tapi keputusannya tidak jauh berbeda dengan si bos, katanya keputusan ada di pihak manajemen perusahaan. “Kita lihat saja sampai enam bulan ke depan,” katanya. Dalam perjanjian yang saya tanda tangani dengan perusaahaan, sebelum saya diangkat menjadi karyawan tetap, saya menjalani masa probation selama enam bulan.

It’s gonna be okay, honey. Allah paling tahu yang terbaik untuk kita. Pasti ada jalannya,” suami tidak pernah berhenti   memompa semangat optimis saya.
“Kalau dikeluarkan dari pekerjaan?”

“Ya siapa tahu ada kebijakan baru lagi pula kan ada suami yang bertanggung jawab,” katanya sambil menunjuk dirinya. Duh, saya kan tahu gajinya dia, tahu berapa tanggungannya selain saya, jadi bagaimana ini? Belum lagi kami harus menyiapkan dana perlengkapan bayi. Ya,  minimal beli beberapa potong baju, celana, dan kain fanel,  masa iya semua bekas saudara– ego mama baru J. Belum lagi kebutuhan popok, alat mandi dan pernak – pernik lain. Belum bayar kontrakan rumah...Lalu biaya sekolah adik-adik saya? Ibu saya tak menuntut malah membesarkan hati tapi itu malah membuat emosi saya penuh drama – rasa bersalah dan kasian sama Ibu.

Dari membaca majalah bertema parenting saya tahu, bumil tidak boleh stress karena sangat bisa berpengaruh pada tumbuh kembang janin. Jadi saya mencoba mengesampingkan pikiran kehilangan pekerjaan dan akibat negatifnya. Be positif! Dan itu bukan hal mudah di tengah menunggu ‘eksekusi’ kehilangan pekerjaan. Beragam sugesti yang di jejalkan tetap saja membuat sesekali mencuri waktu beberapa menit buat nangis secara sembunyi-sembunyi. Lebay ya hahaha tapi mungkin itu efek hormon kehamilan juga yang katanya gampang membuat suasana hati berubah.

Trik menghadapi stres saat hamil
Berdasarkan pengalaman mengatasi stres saat hamil adalah berdoa pada yang maha kuasa agar di beri jalan keluar dari masalah, melakukan hal yang di sukai, kedua up date terus ilmu seputar kehamilan dan pengasuhan, jadi pikiran kita akan membantu untuk mensugesti untuk tidak stres karena tahu stres tidak baik untuk kesehatan janin.

Kebetulan saya suka baca buku jadilah hiburan saya adalah baca buku, karena memang tidak punya tv. Saya pun mulai iseng-iseng mencoba hobi yang sudah lama ditinggalkan yaitu menulis. Berharap tulisan saya bisa jadi rupiah seperti saat kuliah dulu karena cerpen saya di muat di majalah dan mendapat honor. Mulai ngeblog juga, sayang tulisan di blog hilang karena multiply tutup. Aktivitas yang cukup mengalihkan perhatian dan membawa secercah harapan, jika saya bisa mencari celah lain untuk mendapatkan penghasilan.

Selain tentu saja berserah diri pada yang mahakuasa, agar di beri jalan keluar terbaik dan rejeki cukup.

Ngidam?
Ada kejadian saat hamil yang setiap mengingatnya saya tertawa. Suatu hari saya kepingin banget makan pake sambal, lalap dan petai. Walaupun saya jarang makan makanan yang punya aroma khas ini,  tapi ini biasanya jadi menu wajib di acara makan kumpul-kumpul keluarga besar dengan menu masakan sunda (saya berasal dari Bandung). Dan kalau diingat-ingat sejak menikah saya belum pernah makan petai di depan suami. Selain karena suami tidak suka makan petai juga saya malu mengakui doyan makan petai. Masa iya cewek cantik (halah…) suka petai.  Tapi masa saya harus pulang ke Bandung dulu untuk bisa menikmati satu papan petai. Jadilah makan siang hari minggu itu saya mengajak suami makan suami makan di sebuah rumah makan khas sunda dengan alasan ingin makan enak buat ngilangin stres.

Sampai di restoran, di depan deretan menu di tata di atas  piring beralas daun pisang  dan petai  gantung sisi paling kiri, saya tertegun. Ragu dengan pilihan petai. Lebih tepatnya malu.
“Mbak petainya digoreng ya,” pinta saya setelah mengumpulkan segenap keberanian. 

Saya mengira suami akan terkejut dengan ini tapi ternyata dia malah tersenyum sambil berkata,”jadi mau petai ya?”
Saya nyengir berusaha terlihat pe-de. 

Di balik kesulitan ada kemudahan
Untunglah pihak perusahaan memberi sedikit kebijaksaan, kontrak kerja saya di perpanjang dua bulan (setelah 6 bulan masa probation) jadi saya resign pas sebulan sebelum melahirkan. Kabar baiknya pula asuransi kantor suami menanggung biaya persalinan caesar saya secara full. Alhamdulillah si kecil lahir dengan selamat dan sehat. Saya pun menyiapkan mental untuk hunting pekerjaan baru. 


Oh ya tulisan yang saya tulis selama masa kehamilan dan coba kirim ke media tidak satupun yang tembus, tapi setidaknya itu melemaskan otot dan pikiran saya untuk menulis kembali.


Tulisan ini diikutsertakan dalam NUK Pregnancy Story


12 komentar

  1. xixixixixi...kebayang lah diejekin suami minta pete hehehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. tahun tahun pertama nikah masih jaim hehehe

      Hapus
  2. Malah suamiku yang doyan makan pete, tp gak doyan2 amat, soalnya takut baunya mengganggu :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya pun klo di rumah jarang sekali makan mba karena suami ga suka baunya, harus mudik ke bandung baru bisa tenang makannya hahah

      Hapus
  3. hehehe malu-malu makan petenya ya

    BalasHapus
  4. pengalaman yang mengahrukan hehe, semoga sukses lombanya mbak

    BalasHapus
  5. hihi, ngidamnya petai toh mak....saya juga suka jengkol ketularan suami. tp kalo makan depan dia, maluu :p

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalau saya jengkol kurang suka mba....pengennya meracuni suami biar doyan pete juga nih biar ga kagok kalau makan bareng dia :)

      Hapus