Bekerja dari rumah, antara idealisme vs kenyataan

Assalamu'alaikum

Idealisme vs kenyataan
Asiknya bekerja dari rumah dan pastinya di sepakati semua ibu adalah tumbuh kembang anak-anak terpantau. Bisa mengajarkan disiplin dengan lebih konsisten dan bisa mendeteksi bakat dan minat si kecil lebih dini. Bisa membentuk karakter anak yang mendekati ideal dan tetap memiliki penghasilan sendiri tanpa beranjak dari rumah. Mungkin hanya sesekali keluar rumah untuk urusan pekerjaan.

Saat memutuskan resign (resign pertengahan 2013) saya memiliki banyak rencana indah. Dari memiliki jam kerja khusus di rumah - misal jam 10 sampai 12 siang, (sementara si kecil di handle si mba pengasuhnya)  lalu jam 2 sampai jam 4 (saat anak-anak tidur siang) dan malam hari saat anak-anak dan pak suami tidur.  Sesekali ke  luar rumah untuk memenuhi undangan blogger atau bertemu narasumber tulisan.

Membuat planing agar bakat dan minat anak-anak terdeteksi sejak dini dengan membuat jadwal ‘main’ yang bisa memancing bakat dan minatnya. Dari memiliki kunjungan rutin ke museum, percobaan science sederhana, ngajarin hapalan al-qur’an, ide main dengan memanfaatkan barang bekas dan seabrek ide idealis lainnya.

Tapi rencana tinggal rencana terlebih setelah art yang menjadi andalan saya sejak bekerja memutuskan menikah dan tidak lagi bekerja pada kami. Anak-anak pun tak mudah di ajak kerjasama, tahu mamanya ada di rumah maunya nempel terus.


Ketidakkonsisten mencari dan membimbing bakat dan anak pun kadang terbentur keinginan besar tetap bekerja (berpenghasilan) dari rumah. 

Contoh kecil, sebagai blogger dan ingin blognya saya menghasilkan uang, tentu tidak sekedar nulis di blog tapi harus aktif di akun-akun media sosial, begitu kata sebuah agen yang sering mencari blogger untuk promo sebuah brand. Aktif di media sosial otomatis harus stand by donk, walaupun ga 24 jam, menimal per sekian jam nengok sosmed, bikin status atau reply status orang. Selain aktif di media sosial datang ke acara undangan blogger.

Pada saat bersamaan saya tahu, alangkah lebih bijak jika saat dengan anak tak disibukkan dengan gadget karena dengan begitu secara tidak langsung mengajari mereka tentang arti pentingnya memperhatikan dan mendengarkan orang lain dan membuat anak-anak lebih penting daripada gadget. Apalagi saya membatasi interaksi anak-anak dgn tv dan gadget otomatis saya harus lebih banyak mendampingi mereka.

Jika kepepet deadline saya pun menghadiahi anak dengan bonus nonton dengan menyisakan rasa bersalah di hati *lebay*, tapi beneran lho. Beginilah kalau mama terlalu banyak baca buku parenting maunya idealis hahah

Saya pun hanya bisa memenuhi undangan blogger saat weekend karena art kami yang sekarang pulang hari tidak bisa di titipi anak untuk waktu lama.

Menunggu anak-anak tidur baru intip sosmed, duh kapan nulisnya secara kalau sudah buka sosmed suka lupa waktu nulis. “Akh, itu sih masalah elu!” Hahha iya sih, intinya saya belum pandai membagi waktunya.

Saya pun pengen nulis buku ini itu, nulis dan kirim tulisan ini itu ke media. Tapi oh tapi....

Tapi kalau saya curhat saya suami sih, katanya itu karena anak-anak masih kecil masih butuh perhatian besar *alibi*. Anak prioritas utama. Jadi intinya saya harus sabar menunda impian untuk menjadi profesioal freelancer. Menunda sampai anak-anak sedikit mandiri. Saat keduanya sudah masuk sekolah dasar mungkin saya baru memiliki jam kerja pasti, yaitu saat mereka sekolah adalah jam kerja saya.

Asli freelancer
Jadi saat ini saya bekerja dari rumah hanya sebatas freelancer dalam arti sebenarnya-benarnya. Dapat pekerjaannya tak tentu dan di kerjakan di sela waktu luang (saat anak-anak tidur), artinya tidak terlalu menyediakan waktu khusus di siang hari seperti layaknya jam kerja.

Saat masih ngantor  saya nyambi jadi freelancer di majalah ayanbunda (istilahnya kontributor lepas) dan ngeblog. Seiring waktu tawaran kerjasama di blog pun ternyata meningkat. Saya tak pilih-pilih untuk soal fee. Selama job review  yang di tugaskan tidak melanggar norma atau idealisme pribadi saya terima. Saya tetap rajin mengirim tulisan ke media massa dan tak menolak tugas menulis dari majalah yang selama ini mempercayai saya sebagai salah satu kontributornya.

Impian bekerja dari rumah
Seperti yang saya tulis di atas, impian saya jadi freelancer profesional dari rumah. Memiliki jam kerja khusus walaupun di rumah. Jujur saya kagum dan salut sama teman-teman yang bekerja dari rumah dan masih memiliki balita tapi bisa konsisten dengan pekerjaanya dan terlihat profesional. Itu terlihat dari banyaknya karya atau produk yang di hasilkan. Jika penulis, buku dan tulisannya banyak. Jika blogger, bisa datang undangan kapan dan dimanapun. Kalau dia seorang ibu bekerja dari rumah yang menghasilkan produk untuk di jual, keprofesionalnya terlihat dari majunya usaha dia.

Ehm, apa ini karena saya tidak pandai membagi waktu? Saya berharap mendapat jawaban itu dari buku Sukses Bekerja dari Rumah yang di terbitkan penerbit Stiletto. Bagaimana menyiasati waktu yang terbatas agar tetap  produktif dan profesional sebagai istri, ibu dan ibu bekerja dari rumah.
Satu lagi impian saya, ingin memiliki usaha (jualan) tapi belum ada ide, semoga jika mendapat buku Sukses Bekerja dari Rumah mendapat inspirasi.

Ini dia cover buku yang saya inginkan 




7 komentar

  1. saya lagi bener2 jadi pekerja rumahan nih hehe..semoga ide untuk usaha rumahan terwujud ya mak^^

    BalasHapus
  2. Semangat mbak. Memang tak mudah tapi juga tak sulit kok. Saya sudah 7 tahun menjalaninya, dan sering keteteran. Hihihi

    BalasHapus
  3. semoga usaha yang diinginkan segera terwujud ya rin, sukses terus dengan tulisan2nya yg menginspirasi

    BalasHapus
  4. Freelancer itu kayak kerja tapi main juga kan Mba hehehe

    BalasHapus
  5. Saya juga masih curi curi waktu Mak, blm bisa maksimal dalam kerjaan.
    semoga sukses ya Mak

    BalasHapus
  6. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  7. Sukses bekerja dari rumah bukan hanya soal sukses mengahasilkan income. Tapi juga apakah niat awal untuk memperhatikab tumbuh kembang anak benar terlaksana sesuai rencana. Kalau tidak...ya apa bedanya dg kerja kantoran.

    BalasHapus