Sekelumit Pengalaman Penulis Pesanan

Berkali-kali mewawancara dokter untuk keperluan artikel kesehatan atau parenting, baru pertama kalinya saya mengalami kejadian diusir satpam, itu terjadi sekitar seminggu lalu.

Dengan wajah (sok) tegas dan galak, pak satpam keukeuh meminta saya menunggu dokter  di kantin atau lobi, walaupun sudah dijelaskan, saya kemari dengan prosedur resmi. Alasan lain keberatan tunggu di kantin atau lobi karena saya tidak tahu dokternya yang mana dan tak punya nomor kontaknya karena dari pihak marketing RS hanya di tunjukan nama dokter dan jam praktiknya. Jadi kalau tidak menunggu di depan ruang praktiknya (seperti pasien) khawatir dokternya lupa. Padahal DL tulisan tinggal tiga hari.

Esmosi jelas tapi sebelum perdebatan ini menjadi bahan tontonan (beberapa pasien sudah menatap dengan rasa ingin tahu)  saya menuruti satpam dengan langkah dongkol.





Berawal dari Hobi
Saya bukan wartawan dan tidak memiliki latar belakang pendidikan jurnalis. Menghabiskan hampir 9 tahun berkutat dengan kimia sebelum akhirnya bekerja di laboratorium. Hobi membaca dan menulis mengantarkan saya dipercaya menjadi kontributor lepas sebuah majalah bertema parenting nasional.
Kontributor lepas menulis artikel berdasarkan pesanan redaktur dengan waktu tak dapat di duga – duga. Artinya tidak secara periodik tiap bulan menerima pesanan tulisan tapi ada kalanya dalam sebulan di minta menulis lebih dari satu tulisan. Kadang berbulan-bulan tak menerima orderan.  Jadi pekerjaan ini bisa saya lakukan sambil bekerja. Jadi kegiatan ini saya lakoni sejak masih bekerja, tahun 2010, tahun 2013  resign dan memutuskan menekuni hobi nulis.  

Tulisan Bernarasumber Ahli
Saya tak pernah menolak orderan menulis yang di beri redaktur, alasannya lebih dari sekedar materi. Saya selalu mendapat tantangan dan pengalaman baru setiap kali mengerjakannya. Kalau soal bahan tulisan mungkin bisa mudah di dapat di internet dan buku tapi karena pihak majalah menginginkan tulisan yang tidak sekedar comot sana sini jadilah saya harus berburu narasumber sesuai rujukan pihak redaksi.

Awal-awal menjadi kontributor, pihak redaktur selalu memberi nomor kontak narasumber jadi saya tinggal telepon dan membuat janji bertemu, namun selanjutnya saya yang di minta mencari sendiri.

saya dan narasumber, wajahnya sengaja saya tutupi
karena foto ini di upload tanpa meminta ijin dokternya
Tantangan
Tantangannya jika narasumber yang di cari adalah dokter spesialis yang tidak semua rumah sakit menyediakan praktik dokter ini. Misal dokter spesialis kandungan  sub spesialis phetomaternal, konselor laktasi bersertifikat internasional, dokter spesialis anak sub spesialis alergi anak, dokter ahli genetika, kepala sekolah playgroup dengan sekolah rujukan majalah. Kadang-kadang tulisan juga harus di dukung responden dengan katagori responden yang di tentukan pihak majalah.

Tantangan lain siap kapan dan di manapun janjian dengan narasumber. Dokter biasanya menolak di wawancara via telepon . Adakalanya tempat praktik dokternya di RS yang jauh dari rumah (masih sekitaran jabodetabek sih) dan harus siap menunggu dokter selesai praktik. Bisa satu, dua atau bahkan tiga jam menunggu jadi siapkan amunisi seperti buku, laptop dan cemilan hahaha. Kita pun harus datang sebelum jam praktik dokter untuk memastikan perawat RS mengingatkan dan menyampaikan kabar ke dokter bahwa kita sudah menunggu. Tak jarang dokter lupa sudah membuat janji dengan kita, mungkin karena sibuknya.

Mencari Narasumber
Awalnya bingung saat pertama kali di minta mencari narasumber dokter/psikolog sendiri, dengan bekal nekat dan rasa suka, kini saya enjoy menjalaninya.  Bagaimana cara mencari narasumber saya pernah menuliskannya di sini

Wawancara plus sharing
Walaupun awalnya gugup, lima menit kemudian wawancara mengalir lancar, salah satu sebabnya para narasumber ini selalu enak di ajak diskusi. Sampai saat ini saya tidak pernah bertemu narasumber yang memberi kesan sombong dengan keilmuannya. Rata-rata humble sampai saya kadang malu sendiri – jadi ngaca pada diri sendiri, harusnya saya yang ilmu seutil ini lebih rendah hati.

Asiknya sesi wawancara ini saya jadi suka menyelipkan pertanyaan pribadi, sedikit melenceng dari tema. Pertanyaan yang biasanya berhubungan dengan problem saya. Ya, kapan lagi bisa konsultasi dokter/psikolog  gratis dalam suasana tak terburu-buru lagi. Misal, saat wawancara psikolog dengan tema anak yang suka menunda, saya menanyakan tentang problem si kecil yang suka tantrum.
Pengetahuan saya otomatis bertambah plus plus.

Honor
Saya kira honor sebuah tulisan berbeda-beda untuk setiap media massa. Saya sendiri belum tahu lho honor tulisan saya secara tepat. Saat pertama kali menerima tawaran menulis saya langsung mengiakan tanpa menanyakan berapa honornya saking senangnya membayangkan nama saya mejeng di media besar hahaha.

Honor yang saya terima berbeda-beda, kisaran empat hingga tujuh ratus ribu. Ehm, mungkin tergantung berapa halaman saya menulis (jumlah halaman di tentukan redaktur).

Honor narasumber urusan redaktur saya hanya di minta memintakan nomor rekening narasumber setelah tulisan terbit.

Awal menjadi kontributor lepas
Bisa di bilang in terjadi secara tidak sengaja. Sejak dinyatakan positif hamil saya suka membaca buku dan majalah parenting. Mungkin karena kebanyakan membaca jadi tertarik untuk menulis (saat di bangku kuliah saya sudah mulai menulis tapi fiksi). Lalu coba-coba kirim ke majalah. Tidak pernah dimuat tapi malah mendapat tawaran menulis.

Kok bisa? Mungkin karakter dan gaya tulisan saya di nilai cocok dengan karakter tulisan mereka. dan sebenarnya karakter  tulisan saya terbentuk karena sering membaca majalah mereka.

Jadi menurut saya penting memiliki karakter dan gaya  tulisan sesuai media di mana kita ingin tulisan kita tampil di sana. Setiap media memiliki gaya tulisan dan kekhasan. Contoh lain mungkin bisa dilihat dari tulisan fiksi, katakanlah fiksi di majalah Femina, Kartini dan tabloid Nova memiliki karakter berbeda walaupun segmennya sama-sama perempuan.

Itulah sekelumit pengalaman menjadi penulis pesanan.





15 komentar

  1. Mbak Rina kereen. pengen belajar banyak darimu. Aku padamu mbaaak :)

    BalasHapus
  2. Wahhh aku jd sedikit banyak tau tentang kontributor lepas untuk seperti apa.
    Makasih sharingnya ya mba.

    BalasHapus
  3. Hebat,mbak....tantangannya lebih berat:-)

    BalasHapus
  4. aih... kerennya mak, pasti banyak tantangannya ya.. sukses terus :)

    BalasHapus
  5. wahhh, hebat mbak. pasti byk bgt ya tantangannya. smg ke depannya lancar selalu ya mbak. Makasi sdh ikutan IHB blogpost challenge..

    BalasHapus
  6. Pernah ngalami jadi penulis pesanan untuk majalah. Jadi kangen masa-masa itu. Sekarang sudah jarang sekali nulis untuk majalah :(

    BalasHapus
  7. Ya ampun, Makkk. Seru bingittt :D

    BalasHapus
  8. Keren Mak... hobi yang dibayar itu asyik ya Mak ^_^

    BalasHapus
  9. hebat bangaet mba , aku diajarin atuh

    BalasHapus
  10. Kapan-kapan pengen ikutan dong hunting narsum

    BalasHapus
  11. wah keren banget Mba Rina, saya sebetulnya pengen banget jadi redaktur lepas laah hehehe, bisa menyaalirkan hasrat nampang di media skala nasional :D

    BalasHapus
  12. saya, kok, jadi ikut gregetan sama satpamnya. Emang apa salahnya, sih, menunggu di deket ruang dokter? Ampun, deh :)

    BalasHapus
  13. Enak juga ya mak...pengen nyobain juga ^^ tapi tulisanku biasanya ga disukai majalah seh xD *nyerah duluan

    BalasHapus