Dampak Ekonomi dan Kematian Penyakit TB

Tidak seperti tulisan-tulisan mengenai tuberkolusis yang sudah saya posting sebelumnya (bisa dilihat di serba-serbi tubercolusis bagian katagori), yang bersifat klinis maka di tulisan ini akan membahas dampak ekonomi yang ditimbulkan penyakit TB.

Dampak Ekonomi Penyakit TB
Sakit selalu memiliki dampak ekonomi karena untuk sembuh dibutuhkan biaya yaitu biaya untuk perawatan dan obat. Terlebih jika penyakit yang di derita butuh proses panjang untuk bisa sembuh seperti TB yang membutuhkan waktu 6 bulan mengkonsumsi obat. Waktu penyembuhan bisa lebih panjang jika TB yang diidap adalah TB resisten atau TB MDR.

Di Indonesia TB adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan peringkat 3 dari 10 penyakit pembunuh seperti, stroke, kanker dan diabetes. Menurut data Riskesdas 2007, setiap hari diperkirakan 186 meninggal karena TB

Selama ini, banyak orang  termasuk saya, merasa bahwa dampak ekonomi suatu penyakit hanya dirasakan penderita dan keluarganya namun jika ditelusuri lebih lanjut ternyata bisa memberi dampak lebih besar yaitu pada negara. 

gambar dari sini 

Dampak ekonomi pada penderita dan keluarga
Bagaimana TB memberi dampak ekonomi pada penderitanya, kan OAT tersedia gratis? Benar sekali. Namun perlu diingat TB umumnya menyerang usia produktif (15-55 tahun). Dan saat seseorang terjangkit TB ada banyak kemungkinan yang dilakukan. Penderita pengobatan secara tuntas sehingga sembuh total atau lalai melakukan pengobatan sehingga menderita TB resisten atau TB MDR.

Jika dia seorang karyawan dan menderita TB MDR besar kemungkinan dia resign dari tempat kerja karena pengobatan untuk TB MDR memerlukan penderita datang ke klinik atau rumah sakit secara periodik, kemungkinan kedua dia dikeluarkan dari tempat kerja dengan alasan khawatir menulari karyawan lain atau mencemari produk - jika dia bekerja di perusahaan farmasi atau makanan bagian factory (bukan di office) yang harus higienis. 

Dan faktanya Menurut survey yang dilakukan oleh WHO penderita MDR-TB di dunia cukup besar dan cenderung meningkat. Indonesia sendiri menempati peringkat ke 8 dari 27 negara dengan TB MDR terbanyak di dunia. Diperkirakan penderitanya sekitar 6900. 1,9% adalah TB MDR dari pasien baru dan 12% dari pasien yang sudah mengalami pengobatan.

Jika penderita adalah tulang punggung keluarga, bisa dipastikan ekonomi keluarga akan langsung timpang terlebih jika sampai meninggal. Jika penderita adalah seorang istri dan ibu dari anak-anak, maka ada beban ekonomi dan mental secara tak langsung pada keluarga. Anak-anak kurang terperhatikan dan mungkin menambah biaya karena memerlukan asisten untuk melakukan pekerjaan rumah tangga yang biasanya di lakukan istri.

Jika penderita perlu di rawat akan ada biaya tambahan, yaitu biaya ‘operasional’ keluarga untuk mendampingi selama di rumah sakit dalam hal ini ongkos dan biaya makan. Dan penelitian menunjukkan 75% pasien TB harus mengambil pinjaman atau berhutang untuk biaya pengobatan dan biaya sehari-hari.

Dampak ekonomi pada negara
Pemerintah menggratiskan OAT namun bukan berarti pemerintah mendapatkan OAT secara gratis. Walaupun ada bantuan pendanaan dari organisasi dunia diantaranya dari Global Fund, tapi tidak 100%. Dan selain OAT, pelayanan kesehatan TB gratis termasuk pemeriksaan klinis seperti rontgen, tes mantox dan tes dahak.

gambar dari sini
Dan dana hibah asing bersifat sementara dan akan berkurang seiring majunya perekonomian dalam negara. Dan pada tahun 2016 pemerintah mentargetkan 80% dana untuk pelayanan program tuberkulosis bersumber dari domestik, dengan tiga sumber yaitu meningkatkan pembiayaan pemerintah pusat dan daerah, asuransi dan kontribusi swasta seperti CSR serta penerapan program yang efektif dan efisien. 

Pemerintah  mengambil sebagian dana untuk menggratiskan OAT dan pelayanan kesehatan TB lainnya dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN. Artinya jika penderita TB bertambah otomatis beban pemerintah akan bertambah. Sebaliknya jika penderita TB berkurang, dana untuk pembiayaan TB berkurang sehingga dananya  bisa digunakan untuk perbaikan di bidang pendidikan atau fasilitas publik lainnya.

Dampak ekonomi lain yang ditimbulkan TB tidak dalam bentuk hitungan rupiah secara langsung, seperti;

  1. Kerugian produktivitas akibat disabilitas. Waktu produktif berkurang karena sakit. Jika penderita TB seorang karyawan maka produktivitasnya akan berkurang karena sakit
  2. Kerugian produktivitas  akibat kematian prematur. Jika penderita TB meninggal maka jumlah tenaga produktif berkurang.
Pertumbuhan ekonomi bangsa secara keseluruhan bisa terganggu karena jumlah usia produktif berkurang terlebih saat ini setiap tahun ditemukan 460.000 kasus baru TB.

Mengurangi dampak ekonomi TB
Sebagai negara berkembang, salah satu masalahnya adalah kemiskinan dan kemiskinan sering terkait dengan tingginya jumlah penyakit menular diantaranya TB.

Dan faktanya, TB juga banyak menjangkiti kelas menengah perkotaan (menjadi penyebab kematian no  4 setelah stroke, diabetes dan hipertensi) hal itu karena lingkungan kotor (polusi rokok dan asap kendaraan) dan pola makan tidak sehat (makan hanya berdasarkan selera lidah bukan memilih makanan sehat), sehingga daya tahan tubuh menjadi lemah dan mudah terjangkiti penyakit menular.

Seperti kata pepatah mencegah lebih baik daripada mengobati. Maka yang bisa kita lakukan adalah melakukan pola hidup sehat; mengkonsumsi makanan sehat dan menjaga kebersihan lingkungan. Dan peduli, untuk menemukan dan penyembuhkan penderita TB jika ada dilingkungan sekitar.



Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog TB sesi 6


Referensi :
www.pppl.kemkes.go.id
www.kesehatan.kompasiana.com


1 komentar