Menemukan Kecerdasan si Kecil
“Konsentrasi donk!” saya mulai tak sabar saat
melihatnya mengulang menghitung jari sambil komat – kamit. “Masa lupa. Tadi disoal nomor tiga kan ada
hitungan tiga kali delapan.”
Wajahnya tambah berkerut dengan bibir macun,
dan mulai menghitung lagi.
Saya mulai greget. Menghela nafas menahan
kesal.
“Makanya dihapal, diingat – ingat, jadi tidak
perlu menghitung ulang.”
“Tapi aku ga mau menghapal perkalian.”
“Kalau dihapalkan jadi gampang ga perlu ngitung
pake jari.” Suasana belajar mulai menegang. Dia keukeuh tidak mau berusaha mengingat perkalian, saya menuntut
sebaliknya. Tapi itu dulu, kini saya mulai santai. Mendampinginya belajar
matematika tanpa paksaan dan tekanan, yang penting dasarnya paham, berusaha
menahan emosi jika harus mengulang – ulang menerangkan hal sama agar dia paham.
Sampai kini nilai matematikanya tidak pernah merah di raport, paling kecil
nilainya enam saat ulangan. Tapi itulah
usaha maksimalnya.
Kemungkinan si kecil saya memang tidak bakat matematika,
kecerdasan yang dominan dimilikinya bukan logika matematika, begitulah
kesimpulan saya saat teringat buku mengenai kecerdasan majemuk Howard Gardener (cerdas logika matematik, cerdas kinestetik, cerdas intrapersol, cerdas interpersonal dsb) yang baca saat anak – anak masih balita. Buku
yang jadi petunjuk untuk menstimulasi anak – anak. Saat itu saya memang sedang
semangat – semangatnya membaca banyak buku pengasuhan. Saya pun jadi teringat seorang anak harus tumbuh bahagia dan sehat agar kecerdasannya berkembang.
Bagaimana mau bahagia kalau dibuntuti soal matematika melulu yang jelas dia tidak suka dan kurang mampu. *duh beneran feeling quilty*
Bagaimana mau bahagia kalau dibuntuti soal matematika melulu yang jelas dia tidak suka dan kurang mampu. *duh beneran feeling quilty*
Sejak menyadari itu saya mulai mengamati dan
mengingat – ngingat kejadian yang menjadi petunjuk menemukan kecerdasan dominan
yang dimiliki si kecil.
Saya ingat, saat usianya 4 tahun, dia ingin bisa berenang
(bukan sekedar main air tapi berenang seperti Ayahnya). Dengan ragu kami
mengeleskannya berenang diusia yang belum
genap 5 tahun dan kami terkejut karena dia bisa mengikutinya dengan cepat. Di kelompok
les renangnya dia yang paling muda tapi kemampuannya sama dengan anak- anak yang
usianya 3 bahkan 4 tahun diatasnya.
Lebih suka bergerak daripada duduk manis dan tertarik dengan kegiatan yang berhubungan dengan gerak seperti ice skating, bersepeda dan olah raga bela diri.
Dia memang tidak pandai matematika tapi tangannya luwes menggambar dan meniru gambar.
Lebih suka bergerak daripada duduk manis dan tertarik dengan kegiatan yang berhubungan dengan gerak seperti ice skating, bersepeda dan olah raga bela diri.
Dia memang tidak pandai matematika tapi tangannya luwes menggambar dan meniru gambar.
Kedua anak kami, di cecoki buku sejak bayi,
rutin dibacakan buku, buku baru selalu dibeli secara periodik dengan beragam
jenis dan tipe buku, dari mulai buku model pop
up, flip the plop, buku yang mengeluarkan bunyi dsb.
Tapi antusiasme terhadap buku tidak sebesar
adiknya, enggan membaca buku tanpa gambar. Suatu kali pernah saya paksa baca
satu halaman pertama Lima Sekawan, buku yang membuat saya kecanduan saat
seusianya. Dan dia memberikan komentar yang membuat saya terkejut,”Aku ga suka
bukunya, ga ngerti.”
Tapi dia membuat saya terkagum –kagum karena
bisa sayang dan peduli pada hewan peliharaannya. Dia tidak segan - segan memakai uang jajannya untuk membeli makanan kucing. Pernah marah dan sedih sepanjang hari karena kami terpaksa menolak menambah kucing peliharaan (jika menemukan anak kucing dia suka membawa pulang) karena dia sudah memiliki 4 kucing dan satu kucing tengah hamil.
Satu hal lagi, si kecil hobi menonton (tapi
kami batasi), sejak kecil dia tahan menonton film panjang seperti Frozen, Brave
dan film sejenis lainnya dan paham jalan ceritanya padahal waktu itu dia belum
bisa membaca teks terjemahannya. Saya berkesimpulan gaya belajarnya audio –
visual. Jadi tak heran dia tidak betah membaca dengan teks – teks panjang.
Saat kelas satu sekolah dasar (kini kelas 5) saya pernah
mengikutsertakan si kecil dalam
pesantren kilat liburan sekolah di Bandung (kami tinggal di Kab. Bogor), dan
dia mengikutinya tanpa drama, malah sepulang pesantren bilang,”Tahun depan aku
mau lagi ya Ma pesantren kilat di Bandung.”
Saat seusianya saya masih ketakutan tidur jauh
dari Ibu, menginap di rumah nenek pun tidak berani kalau tanpa ibu.
Jika dipikir ulang, selama ini saya mengukur
pencapaiannya dengan patokan saya saat seusianya, padahal tentu saja itu salah
karena dia bukan saya walaupun lahir dari rahim saya.
Akhirnya saya mulai fokus mengasah kelebihannya
alih – alih bersitegang tentang perkalian, tentang baca buku dsb.
Saya membuat semacam catatan di notes tentang anak – anak, dari
hobi, kemampuan, minat, kebiasaan sampai khayalan mereka.
Misal catatan kecil untuk si sulung, yang menurut pengamatan saya cerdas kinestetik dan interpersonal.
Hobi ; Berenang
Kemampuan ; menggambar, piano, drum, membuat
DIY
(saya membedakan kemampuan dan hobi, dengan
melihat hobi dilakukan dengan suka cinta tanpa lelah dan bosan, kalau kemampuan
biasanya dilakukan angina – anginan, kalau lagi mau dan itupun tidak lama)
Karakter positif ; luwes, berani, mandiri,
berkeinginan kuat, senang bersahabat dan setia kawan.
Aktif dikegiatan sekolah |
Stimulasi ; Rutin menulis diary untuk belajar mengungkapkan
perasaannya tanpa meledak – ledak. Tetap mendorongnya membaca buku tapi bukunya
disesuaikan dengan kesukaannya, kalau fiksi dia sukanya yang bergambar. Karena dia kurang tertarik membaca buku
pelajaran sekolah, saya melengkapinya dengan ensiklopedi dan buku ilmu
pengetahuan popular yang umumnya bergambar menarik dan berwarna, dan ini cukup
berhasil. Dia sangat senang membaca seri Buku National Geography Kids yang
tebal – tebal dibanding buku teks ilmu pengetahuan alam.
Secara berkala mengajaknya ke museum dan tempat
wisata alam yang berbeda.
Setelah belajar memetakan bakat dan minat anak –
anak saya semakin paham dan yakin bahwa tidak ada anak tidak cerdas. Orangtualah
yang dituntut membantu mereka menemukan kecerdasan itu.
Yang saya rasakan dengan belajar memetakan
bakat anak – anak berdasarkan kecerdasan yang saya lihat pada mereka; tahu kemampuan anak sehingga tidak memaksakan
kehendak/cita – cita pribadi. Misal, siapa sih yang ga ingin punya anak dokter,
tapi semua dikembalikan pada anak. Apapun cita – citanya yang harus didorong
adalah memahami bahwa kelak mereka harus berguna bagi sesama, memberi manfaat.
Legowo saat anak mengungkapkan keinginan yang
tidak sesuai keinginan kita, selama tidak menyalahi aturan agama dan norma.
Yang pasti saya masih belajar dan berproses
mendorong anak – anak menemukan takdir terbaiknya.
Cerebrofort Dukung Cerdasnya si Kecil
Oh ya bicara kecerdasan anak – anak, tentu
harus dibarengi nutrisi dan vitamin yang tepat. Saya memilih cerebrofort yang
membantu tumbuh kembang otak si kecil karena terbuat dari ikan tuna yang mengandung
DHA & EPA.
Cerebrofort tersedia dalam kemasan gummy seperti permen kenyal yang pastinya disukai anak-anak.
Cerebrofort tersedia dalam kemasan gummy seperti permen kenyal yang pastinya disukai anak-anak.
Tidak ada komentar