Peringatan; Postingan ini mengandung curcol
Assalamualaikum. Semangat pagi kawan.
Penghujung tahun. Merencanakan
resolusi tahun depan? Saya tidak hahaha karena resolusi tahun depan masih
menuntaskan resolusi tahun ini, resolusi tahun ini, menuntaskan resolusi tahun
sebelumnya. Mungkin karena saya orangnya kurang keukeuh jadi walaupun udah ditulis impian dan resolusi, tetap saja
melenceng. Saya tipe orang yang harus dipaksa. Dipaksa keadaan alias kepepet.
Itulah kelemahan saya kata Pak
suami, makanya walaupun tidak bodoh prestasinya selalu biasa. Waktu jadi
karyawan ya gitu-gitu aja jadi karyawan biasa. Jadi freelancer juga gitu, gak
yang menonjol atau cetar. Dikritik suami baper? Saya tidak mungkin karena telah
hidup bersama satu rumah satu tempat tidur, sama-sama tahu kekurangan
masing-masing dan menerima hehehe. Dan Pak suami selalu punya cara
membuat saya dalam keadaan kepepet hingga saya bisa melakukan sesuatu yang
awalnya ditakutkan. Ya, saya tipe orang yang betah di zona nyaman.
Duh mau ngomongin apa sih ini.
Seperti judulnya mau ngomongin
impian-impian kecil yang Alhamdulillah terwujud. dan untuk terwujudnya
membutuhkan waktu bertahun-tahun bahkan hingga puluhan tahun.
Bike to kepepet
Bisa naik sepeda diusia menjelang
30 tahun. Sebenarnya impian saya bisa
naik sepeda sudah ada sejak kecil, terlebih saya fans berat seri semua buku
petualangan anak Enid Blyton yang selalu menggambarkan tokohnya naik sepeda dengan
setting pedesaan Inggris (semoga suatu saat bisa menjejak Inggris). Tapi apa
daya, orang tua tidak mampu membelikan sepeda.
Jika minta macam-macam Ibu selalu
bilang,”Udah bisa sekolah saja syukur.” Kalau udah begitu saya pasrah. Mau
belajar pinjem teman juga takut. Takut rusak terus harus ganti. Melanjutkan
mimpi bisa naik sepeda aja sambil baca buku Enid Blyton aja.
Setelah menikah saya membeli
rumah (kpr maksudnya) di sebuah perumahan di Bogor dimana letak cluster tepat
saya tinggal jaraknya sekitar 2km dari gerbang perumahan yang berhadapan
langsung dengan jalan besar. Karena saya kerja otomatis tiap hari harus ngojek
dari rumah ke depan perumahan. dan itu ternyata berat untuk keuangan kami. Maklumlah
mulai nyicil rumah.
Jadilah saya membeli sepeda bekas dan mulai belajar naik
sepeda. Jadi transportasi dari rumah ke depan perumahan, naik sepeda lalu
sepeda dititip di kantor marketing sebelum lanjut ke kantor dengan bis.
Jangan ditanya malunya belajar
sepeda setelah jadi emak-emak. Pak satpam yang saban sore keliling
cengar-cenger sambil menyemangi (tapi terasa diledek ) si mba pengasuh anak
tetangga mesem-mesem, si kaka ketawa setiap melihat mamanya jatuh. Jatuh sampai
paret, lebam dan keseleo. Akhirnya lulus bisa sepeda. Tapi perjuangan belum
selesai. Sesuatu kalau kehujanan saat naik sepeda pulang ngantor. atau
kemaleman karena lembur.
Setelah punya uang lebih kami
membeli motor dan belajar motor. Alhamdulillah tercipta motor khusus perempuan
(bodi kecil dan pendek) kalau tidak seumur-umur tidak bisa naik motor kayaknya
karena kaki tidak sampai (dilema bertubuh mungil) . Belajar motor lebih
menegangkan, pernah nabrak angkot (bukan diserempet angkot), hampir jatuh di
genangan air dan malah ngegas jadilah si motor mencium Avanza. Ngeri-ngeri sedap
lah apalagi jarak dari rumah ke kantor sekitar 15 km dan jalan yang dilalui
jalan protokol kota Bogor yang ramai.
Finnaly impian bisa naik motor
dan sepeda terwujud tanpa diduga. Impian bisa nyetir? Nunggu COP dari kantor
paksu turun lagi hehehe.
Perpustakaan anak
Saya tidak akan pernah melupakan
jasa seorang perempuan setengah baya yang merelakan buku koleksi keluarga dan
anaknya dipinjamkan pada anak kampung macam saya puluhan tahun lalu. Cerita
lengkapnya pernah saya tulis untuk lomba gado-gado majalah Femina tapi kalah.
Ini ceritanya Buku Bu Purbo
Sejak itu saya berkeinginan
memiliki buku anak yang banyak untuk kemudian dipinjamkan secara cuma-cuma pada
anak-anak yang tidak bisa membeli buku seperti saat saya masih kecil. Kenapa?
Karena saya yakin buku bisa membuka wawasan si anak hingga berani bercita-cita.
Alhamdulillah terwujud ketika kami tinggal disini (sebuah kampung pinggiran
kota).
Ini cerita saya tinggal di tempat
baru Living
in the Village
Buku |
Awalnya anak-anak sini terlihat
kurang antusias dan malu-malu seiring
waktu mulai tak segan minta ijin pinjam atau sekedar baca ditempat.
Punya kendaraan roda
empat
Tahun-tahun pertama nikah, saya
dan suami suka ngobrol begini,”Kayaknya kita baru mampu beli kendaraan roda
empat 10 tahun lagi kali ya atau lebih atau setelah kpr lunas.” Maklumlah walaupun saat itu kami
sama-sama kerja, tanggungan kami lumayan. Ada Ibu suami yang semua pengeluarannya
harus ditanggung suami secara penuh (resiko bersuamikan anak tunggal hahaha),
saya harus bantu biaya adik-adik sekolah (resiko punya istri adiknya banyak
hahaha).
Tapi Allah swt punya rencana tak
terduga, tetiba Pak suami dapat tawaran kerja dari perusahaan mobil dan
otomatis kami dapat COP (car ownership program). Jadi ngerasain punya roda
empat diusia empat tahun pernikahan itu sesuatu, walaupun mobil pinjaman kantor
heuheu.
Hikmah untuk saya, genggamlah mimpi,
berdoa dan berusaha lalu biarkan semesta menunjukkan jalannya.
impian ku masih ad ayang belum terwujud mbak, entahlah nanti tercapai apa enggak, tapi yang seperti dibilang Mbak Rina, sayapun percaya dengan kekuatan mimpi
BalasHapus