Living in the Village

Menuju Kota Baru
Menggenapi lima bulan tinggal di rumah baru sekaligus tempat baru. Setelah hidup nomaden (dari rumah kontrakan satu ke kontrakan lain) selama 3 tahun di Tangsel akhirnya kami membulatkan tekad hijrah dari kota Bogor yang berarti melepas rumah kami di sana dan membeli rumah di sekitaran Tangsel. Alasan pindah ke Tangsel karena Pak Suami mendapat tawaran pekerjaan baru yang kantornya di sini.

Selama tinggal di Tangsel, beberapa kali kami  keliling dari satu perumahan ke perumahan, survey harga rumah dan mencari rumah yang harganya sesuai kantung. Tapi ternyata harga rumah saat ini membuat  kami shock . Gimana tidak shock harga rumah saat ini kurang lebih 3x lipat dari harga rumah yang kami beli di Bogor dengan ukuran sama. Berarti cicilannya?!

Lalu Pak suami memutuskan membeli tanah di perkampungan untuk dibangun rumah, agar murah dan tidak KPR hingga belasan tahun, katanya. Tapi tetap nyicil ke bank cuma bukan KPR jadi tidak panjang termnya. Ya, begitulah, kalau tidak nyicil tidak bisa punya rumah.

Memilih  tinggal di sebuah kampung pinggiran kota bukan tanpa drama dan dilema, terutama untuk saya.  Bukan mau sok sok an tidak mau tinggal di kampung, lha saya lahir dan besar diperkampungan  (bukan perumahan) tapi perkampungan tengah kota (di Dago Bandung gituloh, kota...). Ini, sebuah desa di pinggiran kota!

Dilema Itu…
Akses dari jalan utama yang dilalui kendaraan umum sekitar 5 km. Sebagai angkoter alias kemana-mana naik angkot, jauh dari jalur angkot itu pilihan berat. Maklumlah saya baru belajar nyetir (walaupun di kampung jalan sudah masuk kendaraan roda empat dan dibeton hanya satu jalur), kalaupun bisa mengendarai roda dua, belum berani jika ke jalan besar membawa anak-anak.

Seperti umumnya perkampungan pinggir kota, masih banyak kebun dan tanah kosong yang membatasi antar rumah. Dibeberapa titik jika malam gelap karena hanya berupa kebun dan rawa. Tidak heran jika malam di sini sepi, pedagang yang lewat malam hari hanya tukang bakso malang, itupun tidak lebih dari jam 8 malam.

Ke minimarket terdekat sekitar 3 km dan tidak bisa jalan kaki atau naik sepeda karena selain jauh, dibeberapa titik jalanan sepi karena kebun dan lahan kosong. Ke toko alat tulis dan fotokopian sama jauhnya dengan ke minimarket.

Jarak ke sekolah Kaka makin jauh, karena jauh tidak masuk rute jemputan kalau pun akhirnya naik jemputan kami harus membayar lebih mahal.

Pertimbangan saya ingin  tinggal di perumahan karena kami pendatang, enaknya kan di perumahan, sama-sama pendatang – tak perlu banyak adaptasi. Lingkungan setara secara sosial – obrolan bisa nyambung sama tetangga dalam banyak hal walaupun tidak sering nenangga, paling ketemu di tukang sayur, arisan atau pengajian bulanan.  Aman karena ada satpam yang menjaga selama 24 jam. Letaknya strategis kebeberapa sarana publik seperti pasar, rumah sakit, sekolah dsb.  Begitulah pengalaman yang saya rasakan tinggal di perumahan selama hampir 9 tahun.

”Tenang Ma,  nanti dibikinin dapur yang bagus,” Hibur Pak Suami, saya tidak bergeming. “Tenang Ma, nanti dikasih taman yang ada rumputnya.” Saya sudah kadung jatuh cinta sama rumah Bogor terutama dapurnya. Sudah akrab dengan tetangga, sudah cocok dengan lingkungannya. Letaknya strategis pula. Pokoknya the best.

Singkat cerita, akhirnya kami pindah ke rumah sendiri, belum  100% selesai dibangun tapi tetap kami tinggali dengan pertimbangan penghematan. Ya, daripada uangnya untuk memperpanjang kontrakan mending untuk finishing rumah. Sampai hari pindahan saya masih baper, enggan pindah, belum siap, kesal, campur aduk rasanya. Kebaperan yang membuat hubungan saya dan Pak Suami anget-anget kuku hahaha.

sepetak rumput di taman yang dijanjikan Pak suami

Home Sweet Home
Hari berganti, saya mencoba merubah cara pandang, seperti saran Pak Suami. Berlahan tapi pasti kebaperan saya berkurang hingga akhirnya tidak ada lagi baper. Ternyata tinggal di kampung pinggiran kota tidak seburuk yang saya bayangkan. Hal-hal yang saya khawatirkan tidak sepenuhnya terjadi. Tetangga sangat welcome. Urusan jauh dari jalur angkot, bisa diatasi dengan adanya tempat penitipan motor yang terdapat didekat  jalan yang dilalui angkot. Saya juga menemukan jalan alternatif yang bisa mencapai sekolah Kaka dan Pamulang tanpa melalui jalan utama.

Keberanian saya naik motor sudah kembali. Yap, saat tinggal di Bogor saya biasa pulang pergi ke kantor mengendarai motor begitu pindah ke Tangsel langsung jiper melihat lalu lintasnya yang lebih padat dan ramai. Kini saya berani menggendarai motor ke jalan besar tapi tanpa anak-anak hehehe. Keberanian yang timbul karena kepepet :D.

Dan saya jatuh cinta dengan rumah yang kini ditempati walaupun sampai saat ini kondisi rumah belum finishing. Mungkin ini efek rasa memiliki. Sebagus-bagusnya rumah kontrakan tetap lebih nyaman di rumah sendiri walaupun masih  jauh dari rapih.

Setelah dipikir-pikir, perasaan dilema yang saya alami karena ketakutan keluar dari zona nyaman, khawatir dan tidak siap dengan perubahan yang akan terjadi.

Teman – teman pernah mengalami dilema? Apapun dilema yang teman-teman hadapi semoga menemukan jalan keluarnya yang penting jangan takut menghadapi dilema, karena dilema membuat kita belajar banyak hal tentang hidup dan sikap menghadapi masalah.

Ini bonus tinggal di kampung, view depan rumah;



Tulisan ini diikutsertakan pada “Lomba Blog “DILEMA” 




11 komentar

  1. indah mbaaa, itu semua punya mba Rina anggreknya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. bukan punya saya semua mba...saya mah hanya sepetak...ayo main sini mba

      Hapus
  2. Mbak Rina, aku makin pengin main ke sini, menikmati kebun anggreknya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. ayo kopdar di sini sekalian kita foto selfie hahahha

      Hapus
  3. Dari dulu penasaran gimana Rina ngebon anggrek.. kayanya sih harus datang n lihat sendiri yah :)

    BalasHapus
  4. Seumur-umur saya tinggal di komplek. Belum terbayang sih kalau tinggal di perkampungan kayak gimana. Tapi itu viewnya cakep, Mbak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. di rumah non komplek lebih heterogen aja mba dalam segala hal, dari latar belakang , ekonomi, sosial dan bentuk/luas rumahnya. Rumah-rumahnya tidak tersusun rapih seperti perumahan hehehe dan sekarang banyak juga pendatang seperti kami

      Hapus
  5. Cantik banget mba :) btw saya pun tinggal dikampung karena suami dapat tanah dan hampir sama ceritanya dg mba awalnya kami ngontrak tp sayang duitnya akhirnya kami mulai bangun secara bertahap. Meski sepi jauh dari tetangga tapi saya betah. Udaranya masih sejuk, kupu2 masih banyak yang menandakan udara masih segar :)

    BalasHapus
  6. suara burungnya juga masih banyak ya mbab kalau pagi :)

    BalasHapus