Geliat Gerabah Plered Purwakarta


Satu set Teh Poci

Salah satu kota tujuan mudik lebaran saya  selain Bandung adalah Purwakarta, kota tempat keluarga besar Ibu tinggal. Orangtua Ibu bukan asli Purwakarta tapi perantauan. Jadi sebelum ke Bandung saya mampir ke Purwakarta dan bertemu Ibu, Bapak dan adik-adik saya di sini (semacam meeting poit) malam harinya (kadang menginap) kami konvoi pulang ke Bandung –  tempat keluarga besar Bapak.



Waktu kecil saya suka menghabiskan liburan di rumah nenek Purwakarta. Waktu itu belum ada jalan tol Cipularang, jadi perjalanan ke Purwakarta cukup melelahkan, sekitar 3 jam. Dan salah satu pemandangan yang tidak pernah saya lewatkan ketika menuju Purwakarta adalah deretan toko gerabah dan oleh-oleh (makanan) di sepanjang Plered. tapi saat kemarin saya lewat kok tidak ada, hanya ada beberapa toko oleh-oleh, toko gerabah satu dua itupun bersatu dengan toko oleh-oleh berupa makanan. Apa saya dulu salah lihat (sudha 10 tahun saya tidak lewat jalur ini)? Apa bukan jalan yang ini?

Mencapai Plered dari Jakarta via Tol Cipularang

Mana yang mau dibawa pulang? 
Kalau dari arah Jakarta, jika teman-teman ingin mampir  ke sentra gerabah Plered Purwakarta dan tetap ingin lewat jalan tol Cipularang agar cepat sampai Bandung, bisa. Dari Jakarta masuk gerbang tol Cikarang lalu keluar di pintu tol Purwakarta, dari sini tak sampai 5 km sampai di Plered. Ada semacam gapura yang menunjukkan bahwa di sini memang terdapat sentra gerabah Plered, jadi tidak usah takut nyasar, ikuti saja petunjuk jalan yang ada di ruas jalan. Eh, sekarang sih ada Waze dan google map ya jadi gak mungkin nyasar hehehe.

Oh ternyata toko-toko gerabah yang dulu berderet di sepanjang jalan utama antar kota sudah direlokasi ke sini. 

Ada belasan toko gerabah sepanjang  Plered, sayang tidak semua toko dilengkapi area parkir, salah satu sebabnya karena toko  - toko  ini sebenarnya halaman rumah yang disulap jadi toko. Yap, hampir semua toko bergabung dengan rumah pemiliknya yang terletak di belakangnya. Jadi sebelum berhenti disalahsatu toko gerabah, cari dahulu spot untuk parkir. Salah parkir malah menyebabkan kemacetan. 

Deretan Toko
Gerabah di sini adalah hasil produk  penduduk setempat, pabrik pembuatannya pun terletak bersebelahan dengan toko sekaligus rumah penduduknya.

Harga Terjangkau
Karena dijual langsung oleh pengrajinnya gerabah di sini harganya murah. Pot bunga motif dengan diameter 15 cm harganya 5000 rupiah *ga jadi nawar*. Gerabah kecil seperti untuk lilin dan aroma terapi mulai 3000 rupiah. 

Namun makin rumit motif dan ketahanan (tidak mudah pecah dengan motif tahan lama karena pembakaran pada suhu tinggi) harga semakin mahal seperti sebuah piring saji buah, mulai harga 250 ribu. Sedangkan satu set kursi teras yang terdiri dari empat kursi dan satu meja mulai harga 800 ribu rupiah.

Yang bikin saya mupeng sih gerabah peralatan dapur dan makan yang terkesan jadul dan vintage. Eit, ini bukan sekedar pajangan lho tapi bisa digunakan dan tidak luntur karena tidak dicat tapi merupakan warna hasil pembakaran langsung. Istri pak H. Asep bercerita jika dia juga menggunakan panci gerabah ini untuk memasak. "Memasak sayur asem enaknya pake panci ini, Neng."

Yang Klasik 

Aih, buat prof foto makanan  bagus nih. Saya membeli tungku kecil dan wajan gerabahnya, yang merupakan alat untuk membuat kue serabi. Tapi niat saya beli ini untuk Kaka yang suka masak-masakan pake api.

Melihat dari Dekat Proses Pembuatannya 
Kunjungan sekali kemari belum puas, akhirnya saat pulang kembali ke Jakarta kami mampir lagi ke sini dan berkesempatan berbincang langsung dengan salah satu pengusaha gerabah Plered H. Asep Hermawan.

H. Asep bercerita tentang usaha gerabahnya yang naik turun. Sentra gerabah Plered sempat mati suri selama 4 tahun, jelas H. Asep.  Banyak pengusaha gulung tikar. Impas mati suri ini, kini hampir semua pengusaha gerabah di sini di black list bank karena mogok membayar pinjaman usaha. Artinya kini Bank tidak memberi pinjaman pada para pengusaha gerabah. "Ya, bagaimana bisa bayar, tidak ada barang yang laku. Sudah 8 tahun salah satu pembakaran saya tidak terpakai. Teman-teman saya yang bangkrut memilih jualan apa saja untuk bertahan hidup, jualan pulsa, gas," cerita bapaknya H. Asep yang turut berbincang. H. Asep meneruskan usaha keluarganya yang sudah puluhan tahun digeluti.

Tentu tidak mudah kembali menata usaha setelah jatuh dan membangkitkan kembali rasa percaya diri, terlebih setelah beberapa pengusaha gerabah di sini banting setir jadi pedagang kelontong, pulsa dan apa saja demi bertahan hidup.

"Alhamdulillah sekarang mulai ramai salah satunya karena kehadiran bunga kertas," terang H. Asep. "Ya, seperti ini Bu, saya isi potnya dengan bunga kertas, jadi otomatis orang beli pot keramiknya."

Harapan H. Asep dan pengusaha gerabah di sini, pemerintah kota terlibat lebih aktif dalam hal mempromosikan dan membagi-bagi projek pembuatan gerabah.

Bunga Kertas dalam Pot
Saya pun diijinkan melihat langsung pabriknya tapi karena masih libur lebaran belum ada proses pembuatan atau pembakaran keramik, karyawannya masih  libur.

Finishing

Masih tradisional

Potensi daerah ini kurang terekspos pemerintah Purwakarta (dibandingkan sate Maranggi ;p), padahal bisa di jadikan salah satu tujuan wisata yang sekaligus bisa menggerakkan UKM. 

Bagus - bagus kan koleksi gerabahnya?

6 komentar

  1. Sama kayak di Cirebon nih nama daerahnya. Baru tahu ada kerajinan gerabah di Purwakarta :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. udah lama mba....namun sejak ada tol cipularang sentra ini kurang di kenal karena lalulalang kendaraan teralihkan ke tol, orang pun jadi tidak kenal sentra ini

      Hapus
    2. ada kontaknya gak mbak? saya lagi cari pot guci keramik besar setinggi 1 m kira2

      Hapus
    3. harga yang setinggi 1 m berapaan ya mbak?

      Hapus
  2. Udah lama denger gerabah Purwakarta tapi belum pernah lihat2 ke sentranya padahal dulu suami pernah kerja disana, di proyek tol Sadang. Aku memang kurang piknik heheee

    BalasHapus
    Balasan
    1. ayo mba piknik ke purwakarta skalian kuliner di sate maranggi heheheh

      Hapus