Reading Challenge

"Siapapun yang terhibur dengan buku-buku, kebahagiaan tak akan sirna dari dirinya."

—Ali bin Abi Thalib

Udah lama gak curcol di blog. Sibuk?! Lebih tepatnya sok sibuk. Sok sibuk ngeresensi buku, dengan niat mau ikutan indiva reading challenge (IRC), tapi minder  setelah ngintip beberapa peserta postingan reviewnya sudah puluhan bahkan ada yang mencapai 50 buku.

Penilaian berdasarkan banyaknya buku yang di review memang cukup besar 50%, sementara kualitas resensi 40% dan 10% interaksi.  Dengan 10% dari total review adalah buku-buku terbitan indiva. Jadi jika target review setahun 100 buku, buku indiva yang direview 10 buku, sedikit. Masalahnya jika ingin berpeluang  menang, harus review lebih dari 200 buku  karena  baru masuk bulan keempat banyak peserta yang sudah 50 an buku.  Kalau 200 buku, berarti buku indivanya 20. berhubung koleksi buku indiva saya hanya satu berarti tiap bulan harus beli sekitar dua buku indiva. Ini agak berat , berhubung budget pembelian buku setiap bulan terbatas (harus berbagi dengan buku anak-anak dan suami), sekitar 1-2 buku.   

Presentasi banyaknya buku jadi penilaian terbesar memang bukan tanpa alasan. Karena makin banyak buku yang direview makin banyak buku terbitan indiva yang di review. Yap, ini teknik marketing J

Jujur saja, walaupun ngakunya book holic saya baru ‘ngeh’ penerbit indiva sejak ada lomba review salah satu bukunya, akhir tahun lalu. Mungkin saya pernah liat buku terbitan ini di tokbuk tapi kurang aware. Kebanyakan buku-buku yang saya baca dan koleksi dari dua penerbit besar grup mizan dan grup kompas gramedia.

Dan saya tetap mau ikutan, saya harus setiap bulan beli buku indiva (karena gak punya stok koleksinya), 

Tapi kalau gak ikut event ini penasaran. Sampai curcol ini selesai ditulis, belum bisa memastikan maju atau mundur dengan tantangan ini hehe

pengennya punya rak buku kayak gini ;p
You are what you read?
Ketika saya membaca sebuah buku saya tidak pernah melihat pandangan politik, paham pemikiran atau keyakinan  sang penulis, kalau bukunya di recommend bagus pasti dibaca apalagi kalau dipinjemin alias gak usah beli.

Dulu waktu saya masih single dan tinggal di Bandung saya bisa mendapatkan buku terbitan terbaru dengan tema up to date, dari fiksi, biografi sampai pemikiran dengan meminjamnya di perpustakaan keuskupan Bandung. Saban sabtu saya ke sana. Awalnya risih karena letaknya di lingkungan gereja sedangkan saya jilbaban. Tapi keramahan petugas termasuk cleaning service, membuat saya nyaman dan ketagihan datang ke sana sampai merekomendasikan teman untuk daftar jadi anggota juga di sana.

Kini, karena jauh dari perpustakaan kalaupun ada (perpus daerah) kurang up date soal buku baru, harus beli.

Beberapa bukunya saya baca awalnya karena di dorong penasaran. seperti, buku Nurcholis Madjid saya baca karena penasaran ada apa dengan gagasannya sehingga dipuji banyak orang di pihak lain di gugat dan di cela.  

Saya suka buku-buku bertema agama  tulisannya Jalaludin Rahmat dan Quraish Shihab, karena enak dibaca, mengalir, mudah di cerna dan tidak terasa menggurui. Soal kang Jalal syiah, saya sudah dengar itu  sejak mengenal buku dia untuk pertama kalinya. Tapi dulu cap syiah tidak terlalu membuat gimana gitu alias adem-adem aja. Sekarang ngomongin syiah kayaknya agak anget ya, malah di daerah tertentu sampai terjadi pengusiran.  Baru-baru ini pun Quraish Shihab sempat di tuding syiah. Tentu saya tidak akan terlibat soal itu, bukan kapasitas saya.

Tapi  membaca buku-buku Jalaludin Rahmat tidak lantas membuat saya menjadi merasa syiah karena buku-buku yang saya baca tidak berisi ajakan untuk masuk golongan itu. Mungkin ada buku beliau yang seperti itu tapi saya tidak tahu dan tidak membacanya. Saya hanya membaca buku dia yang diterbitkan penerbit umum.
Dulu bahasan mengenai orientalis sangat membuat saya tertarik dan sempat mengoleksi beberapa buku Edward Said.

Waktu in-in nya sastra wangi yang digawangi Ayu Utami, saya ikut baca, awalnya sekedar ingin tahu. Dan saya suka tulisan Ayu Utami tapi tidak sepaham dengan pemikiran dan  ide kebebasannya. Saya masih memegang keyakinan sebagai seorang muslim dalam memaknai kebebasan hubungan laki-laki dan perempuan.

Saya masih membaca buku-buku Ayu Utami. Terakhir buku dia yang saya baca Enrico. Sebenarnya pengen baca seri buku bilangan Fu, tapi pengen pinjem alias gak beli hehehe.

Pramoedya Ananta Toer (PAT), saya jatuh cinta pada tulisannya begitu membaca salah satu seri Bumi Manusia (tahun 2000) dan langsung mengkoleksi buku-bukunya. Kenapa ya buku PAT di bakar? Padahal isinya gak ngajak untuk pindah aliran komunis. Cerpen-cerpennya  memang (katanya) beraliran realis sosialis, aliran yang digandrungi penulis Rusia jaman itu.

Setelah membaca bukunya, menurut saya bukan sekedar karena paham PAT yang komunis yang membuat buku-bukunya dibakar. Tapi ada golongan tertentu yang merasa dilecehkan atau tersindir, dengan tulisan-tulisannya. Seperti dalam cerita Gadis Pantai. Jika tidak membaca dengan bijak dan pikiran terbuka pasti di klaim menjelekkan agama islam dan poligami. Padahal jelas poligami saat itu di salah dan dimanfaatkan para penguasa (priyayi) untuk melegalkan nafsu. Para priyayi jawa juga sepertinya cukup tersindir dengan buku ini.

"Ada kejahatan yang lebih buruk daripada membakar buku, salah satunya adalah tidak membacanya."

—Joseph Brodsky

Buku Gadis Pantai bukan sekedar cerita fiktif, tapi sebuah memoar yang ditulis PAT untuk neneknya. Buku ini terdiri dari 3 seri dan hanya seri pertama yang berhasil diselamatkan
.
Saya jatuh cinta dengan tulisannya  Kuntowijoyo dengan pesan spiritualnya yang elegan.

Untuk fiksi terjemahan, tergantung penerjemahnya. Yang bagus saat itu (tahun 1998 an) adalah penerbit Balai Pustaka dan Yayasan Obor. Sekarang sich buku sastra terjemahan Gramedia udah oke.  

Saya pikir membaca beragam bacaan dengan paham pemikiran, pandangan hidup dan politik  penulis yang berbeda dengan kita, bukan hanya membuat ‘melek’ perbedaan tapi menghargai.  Jika dasar keyakinan kita kuat Insya Allah tidak akan terbawa-bawa.

"Buku mengisi jam-jam kita yang kosong dengan percakapan yang mungkin tak akan pernah selesai, tapi membuat kita tahu: kita hanyalah penafsir tanda-tanda, di mana kebenaran menerakan jejaknya. Itu sebabnya kata pertama yang menakjubkan adalah: "BACALAH".

—Gunawan Mohamad

8 komentar

  1. aku juga udah ngintip mbak, tapi takut gak konsisten bacanya

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, peserta salut..baru nginjak bulan ke empat udah 50 an buku

      Hapus
  2. aku ikut reading challeng goodreads :D
    tapi targetnya 50 buku aja dulu :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. akun goodreads saya gak aktif mba, susah mengelola kebanyakan sosmed , rempong kalau udah jadi emak emak ;p

      Hapus
  3. buku-buku indiva apa saja mba? sepertinya penerbit semakin banyak ya mba :)

    BalasHapus
  4. Aku masih belum bisa meresensi euy Rin hahahaha

    BalasHapus