[Mozaik Blog Competition 2014] (Ngakunya) Penulis


Event Mozaik Blog Competition sponsored by beon.co.id. Pada kalimat Mozaik Blog Competition beri url lomba ini dan pada kata beon.co.id sertakan url web: beon.co.id



Ngakunya penulis?!
Setiap orang punya standar beda untuk menyebut dirinya penulis, termasuk saya. Standar saya untuk menyebut diri penulis bisa dibilang rendah. Gimana gak rendah, baru punya dua antologi buku udah mengklaim diri penulis? Malu sebenarnya heheh. 

Menurut Clara Ng dalam buku My Live As Writer ‘Untuk mengaku bahwa dirimu penulis, menurutku setidaknya kamu menerbitkan tiga buku’. Saya setuju, karena kata Clara Ng, kita harus punya standar yang tinggi untuk diri sendiri.

Buku lho ya bukan antologi. Jadi saya sebenarnya cuma ngaku-ngaku jadi penulis *tutupmuka*. Tapi ada alasannya kenapa saya  mengklaim diri sebagai penulis sebenarnya sebagai bentuk usaha dan doa, berharap dapat tawaran jadi kontributor majalah lain (amin) dan jadi pemicu untuk tetap menulis – walaupun ditolak – agar beneran jadi penulis, beneran punya ‘solo album’.

Tapi saya mau cerita sedikt nich pengalaman mejeng nama di media massa, siapa tahu ada yang terinspirasi.

Penulis vs Marie Curie
Mimpi saya bukan jadi penulis sebenarnya tapi berharap seperti Marie Curie, yang gak kenal siapa Marie Curie cek di sini ya  . Alasan yang membuat saya menghabiskan sembilan tahun belajar kimia.  Tapi untuk bisa konsen belajar kimia itu ternyata sulit karena  saya lebih suka  membaca buku-bukunya SGA dan PAT daripada membuka teksbook atau jurnal ilmiah, tak heran jika akhirnya tugas penelitian akhir (skripsi) saya molor satu tahun.

Saya mencoba nulis lantas mengirimkannya ke media massa, motivasinya asli karena tergiur honora, maklum uang saku saya pas-pasan, beneran gak cukup buat beli buku walaupun puasa jajan seminggu. Setelah berkali-kali ditolak akhirnya tulisan pertama saya dimuat media massa, di dua buah majalah remaja, kawanku dan Annida, tahun 2000 an, bukti terbitnya bisa diubek-ubek di sini. Saat dimuat itulah saya merasa ge-er bisa menulis dan ingin jadi penulis makin rajin menulis tapi eh tapi kok malah gak dimuat-muat lagi. Sedikit putus asa lalu  memutuskan puasa nulis, fokus beresin kuliah, kerja, nikah dan punya anak. Alhamdulillah...

Setelah 10 Tahun
Jadi Mama itu rasanya nano-nano ya, bisa super lebay kalau giliran mau kerja di tangisin, tapi dari situlah inspirasi tulisan saya yang akhirnya di muat  lagi di media setelah 10 tahun dari pemuatan pertama. Itu pun setelah mengalami penolakan berkali-kali. Sama seperti halnya ketika tiba-tiba mendapat penawaran menulis di sebuah majalah, setelah menerima beragam alasan penolakan. Dan saat di tawarin nulis untuk majalah   itu rasanya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata *halah*, pokoknya bawaannya senyum-senyum sepanjang hari. Bakal mejeng di sebuah majalah parenting paling keren se Indonesia gitu lho...




Yang di dapat bukan hanya materi tapi pengalaman baru jadi ‘jurnalis’, mencari narsum dan mewawancara wawancara narsum kesana-kemari. Bertemu orang-orang hebat;  Dokter spesialis, dokter spesialis sub spesialis, ahli terapi, psikolog dan tentu saja kenalan baru.

Tetap masih menerima email penolakan tulisan tapi lebih seringnya tanpa kabar, jadinya berharap. Tapi kali ini saya tidak putus asa, coba nulis lagi. Tidak ada keberhasilan yang instan bukan?  Besar keinginan jadi penulis harus di barengi usaha yang besar juga. Usaha bukan hanya nulis lho tapi banyak baca buku dan sesekali ikut pelatihan nulis dengan narasumber mumpuni tentunya.

Hutang Dua Buku
Awal tahun ini saya mendapat kabar menggembirakan, naskah buku di respon positif sebuah penerbit. Jadi saya hutang dua buku (solo) biar bisa leluasa ngaku penulis xixixi

*Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog Mozaik Blog Competition 2014

'Job Desc' ART

Kemarin saya kedatangan, tamu yang tak lain mantan art tetanga depan rumah.  Dia kemari untuk mencari pekerjaan. Setelah bertukar sapa, dia  meminta ijin menginap satu malam. Saya tidak keberatan karena ada memang ada satu kamar untuk art dibelakang.  Sebenarnya di dorong rasa kasian, di usianya yang tidak lagi muda – menjelang 50 an, masih mencari pekerjaan kesana-kemari.

Percakapan di bawah ini aslinya dalam bahasa sunda.
“Dikampung susah mencari uang. Suami gak kerja. Tadi sebelum ke sini saya mampir ke rumah  Ummi.” Saya gak tahu siapa Ummi yang di maksud tapi katanya rumahnya dekat mesjid komplek ini.
“Bi, kalau besok gak dapat kerjaan gimana?”
“Akh, kerjaan mah banyak neng. Malu kalau harus pulang lagi ke kampung.” Jawaban si Bibi cukup menohok saya, rasa optimis dan tekad mencari pekerjaan begitu kuat dan tidak ada sama sekali nada melow.



Saya menyarankan untuk menemui Bu X, tetangga yang saya tahu penyalur art.
“Saya pernah di carikan dia, gajinya emang gede tapi akh bibi mah mending gaji kecil tapi bisa sholat tenang.  Gaji gede tapi gak bisa sholat, bersihin tahi anjing, terus harus ngangkat galon ke lantai dua, karena kamar anak-anaknya di lantai dua.”

“Ngangkat galon ya sama tukangnya atuh Bi.” Kaget juga dengar tugas art ibu-ibu harus ngangkat-ngangkat galon. Di rumah tugas mengangkat galon (karena masih disper murah dan jadul, jadi posisi galon di atas, ya suami atau karyawan toko yang nganterin galon. Kalau darurat ya masak air).
“Dari hari pertama  kerja udah di kasih tahu, tugas bibi ngangkat galon. Bibi udah pengalaman sampai ke saudi neng, udah pernah ngadepin rupa-rupa majikan.”

“Di sini enak, nyetrika bisa sambil duduk. Bibi pernah punya majikan yang kalau nyetrika gak boleh duduk, kerja dari subuh sampai malam. Giliran istrirahat di marahin, gini katanya, kalau mau istirahat di rumah sendiri.”

Soal keterbatasan waktu sholat (bahkan tidak diberi waktu), makanan yang di jatah dan job dest ‘aneh’ memang bukan kali ini saya dengar seperti mencuci mobil. Helow, cuci mobil ya ke tukang cuci mobil aja kali ya...kalau niatnya buat memberi uang tambahan pada art, mungkin bisa dengan pekerjaan lain.

Art adik saya, Ai,  yang kini berusia 16 tahun , cerita waktu pertama kerja di bandung (usianya 13 tahun) di sebuah toko, melarangnya memakai jilbab, kalau sholat di buru-buru ( dan digerutui), makan di alas, suka mukul. Akhirnya Ai dan temannya (mereka bekerja bedua) nekat kabur dengan mengikhlaskan gajinya setengah bulan.
Berbeda dengan cerita teh Apong, art saya yang beberapa bulan lalu resign karena menikah, di tempat kerjanya dulu, gajinya gak jelas, malah nombok karena kalau mengantar anak majikannya ke sekolah, pake uangnya dengan alasan pinjam dulu tapi belum pernah diganti. Sampai dia akhirnya keluar kerja pun si majikan masih  berhutang gaji dan apa yang dibilang majikan saat teh apong pamit pulang.”Punten teu tiasa mayar.” Terjemahannya.”Maaf gak bisa bayar.”

Gak heran ya kalau banyak tkw sektor pekerja rumah tangga mencoba peruntungan di luar negeri.

Beruntunglah saya memiliki mama yang cukup cerewet bagaimana memperlakukan dan memperkerjakan art dengan layak, nasehat yang ditanamkan sejak saya kecil. Anjuran kalau di rumah anak, urusan saya – kerja kantoran bukan alasan.  Memberi gaji yang layak – jadi kalau gak mampu menggaji layak ya gak usah punya art. Kalau memungkinkan beri art keterampilan agar kelak jika sudah menikah bisa mandiri alias gak jadi art lagi, misalnya memasak atau bikin kue. Tak ada acara membangun art malam-malam untuk minta tolong mengerjakan sesuatu.  Menu  art sama dengan yang kita makan. Dan dilarang menyebut art dengan sebutan babu atau jongos.  Gak boleh nyuruh art untuk melakukan hal kecil yang bisa dilakukan sendiri seperti mengambil air minum (kecuali darurat atau sakit) dan itu saya terapkan pada anak-anak biar gak ngebosi dan jadi anak manja.




Writing Contest : Surat untuk Stiletto Book

Pertama kali kenal dirimu saat ada audisi A Cup A Tea (ACOT) For Single Mother dan membaca bukunya beberapa bulan setelah terbit menyusul buku ACOT for Complicated Relationship yang kemudian saya review di sini (dua tahun lalu).

Sebuah penerbit baru yang mendedikasikan diri menerbitkan buku fiksi atau nonfiksi  yang berkaitan dengan dunia perempuan, menurut saya adalah pilihan yang berani mengingat  pasar buku di tanah air tidaklah terlalu besar (menilik minat baca dan daya beli yang masih rendah) jadi membuat segmen khusus sama dengan memperkecil jumlah konsumen bukan?  Pilihan yang sekaligus membuat dirimu unik dan cukup mencuri perhatian di tengah puluhan penerbit buku. Tapi tentu bukan karena itu kamu memutuskan mengkhususkan diri terlebih pada misi membuat para perempuan pintar dan berdaya. Memberi  pemahaman   baru, bahwa perempuan seksi itu yang smart, yang suka baca buku.

Jujur saja,  awalnya agak kecewa dengan tinta dari bukumu yang pertama saya baca (ACOT For Single Mother dan Complicated Relationship ), tintanya kurang merata ketebalannya sehingga tampak tak rapih. Tapi kemudian saya pikir inilah caramu (mungkin) menekan ongkos produksi, harga buku menjadi terjangkau dan bisa bersaing dengan buku-buku penerbit mapan.

Seperti kata sebuah pepatah Don’t  Judge Book From The Cover, so saya melupakan soal tinta dan kertas dan menikmati setiap lembar bukumu. Terlebih seiring waktu kualitas fisik buku membaik. Itu terlihat dari buku-bukumu selanjutnya sebut saja buku Ladies Journey, ACOT For Writer (yang saya suka gambar covernya) dan buku Don’t Worry To Be A Mommy (DWTBM).

Saya selalu memantau setiap audisi untuk seri ACOT, sayangnya belum ada kesempatan ikut serta karena temanya belum pas dengan ide yang ada di kepala.

Kisah dalam  seri ACOT sangat  menginspirasi, walaupun