*catatan oktober 2010
“Suami
gua sih bukan mencuci tapi mengelus –ngelus makanya butuh waktu 6 jam.” Ehm,
apa mungkin itu juga yang dilakukan Papanya
anak-anak.
Saya melirik jam dinding
untuk kesekian kalinya dengan gelisah.
“Udah jam sepuluh nih,”
teriak saya pada suami yang tengah mencuci mobil di depan rumah.
“Sudah siap semua?”
“Sudah.” Sudah siap
berangkat. Azka dan Khalif sudah berdandan rapih. Isi tas sudah lengkap tidak
ada yang tertinggal. Bahkan karena sudah siap dari tadi tapi tidak kunjung
berangkat Azka memilih main dulu ke rumah tetangga sebelah yang memiliki anak
sebaya Azka. Sementara Khalif tertidur pulas di dalam boks bayi. Pagi ini saya
hendak ke rsia untuk imunisasi Khalif, tapi karena tidak mungkin kami pergi
berdua, jadilah kami pergi satu paket, yaitu menyertakan Azka.
“Ok sebentar lagi ya.”
Menit-menit berlalu saya
lihat suami masih berkutat di dalam
mobilnya. Daripada senewen karena kesal saya nyalakan komputer dan ngenet. Tak
terasa satu jam berlalu dan suami belum juga masuk rumah. Saat saya menjulurkan
kepala dari jendela terlihat suami tengah ngobrol sama tetangga. Tak enak hati
jika harus memotong pembicaraan mereka tapi ini sudah molor satu jam dari
rencana yang disepakati. Akhirnya saya keluar pura-pura menanyakan keberadaan
Azka.
“Azka mana ya?”Azka!”
panggil saya.”Ayo kita mau berangkat nih.”
Cara yang cukup berhasil.
Saya lihat suami menyudahi percakapannya dan tetangga pamit pulang.
Ini bukan kali pertama kami
menunda keberangkatan dari jam yang sudah disepakati gara-gara mencuci mobil.
Tak jarang juga saya heran dan kesal karena bisa sampai lebih dari tiga jam
suami berkutat dengan mobilnya. Masa iya mencuci mobil bisa sampai tiga jam.
Ngapain aja sih. Saya jadi teringat seloroh teman kantor,”Suami gua sih bukan
mencuci mobil tapi mengelus –ngelus makanya butuh waktu 6 jam.” Ehm, mungkin
itu juga yang dilakukan Papanya
anak-anak.
“Dibersihin dalamnya. Di
lap. Sekarang kan jadi enakan rapi, bersih dan wangi,” jelas suami waktu saya
protes soal lamanya waktu ‘mencuci.
Memang tidak setiap mencuci
mobil dilakukannya sendiri, jika sedang malas atau kecapean suami memasukkannya
ke tempat pencucian mobil. Dan ini melegakan. bagaimanapun waktu yang kami
miliki untuk bersama keluarga hanya di weekend
jadi saya senewen jika setengah hari dihabiskan suami untuk ‘cuci’ mobil.
“Gimana, kinclongkan?” kata
suami dengan nada puas ketika akhirnya kami masuk mobil dan berangkat.
Ada kalanya juga rencana
mencuci mobil ke bengkel gagal karena Azka merengek minta mencuci mobil.
Keinginan Azka ini terlebih karena ini kegemarannya main air. Dan biasanya
suami menuruti permintaan Azka dengan alasan agar bisa bermain dan lekat
dengannya. Sebagai komuter yang pergi pagi pulang malam, intensitas pertemuan
suami dan anak-anak memang terbatas.
Tapi itu semua belum
seberapa dibandingkan dengan pengeluaran tak terduga diluar budget pengeluaran
bulanan untuk aksesoris dalam mobil. Beberapa asesoris yang menurut saya tidak
penting.
“Pake gantungan baju biasa
juga kan bisa,” protes saya saat melihat gantungan baju khusus dalam mobil
sudah terpasang.
“Ya, beda dong.”
“Gimana ya Ma, kalau Abi mengecat mobil,” katanya
sesaat kemudian.”Sekitar ...
“Oh no!” potong saya.
“Urusan mobil memang uang Abi tapi kan lebih baik ditabung jika nggak terlalu urgent.”
“iya sich,” jawab suami.
Tapi saya sungguh tidak tahu apa yang ada di benaknya. Apa sunguh-sungguh mau
menahan keinginannya atau merencanakan waktu dan dana yang tepat untuk mengecat
mobilnya.
Lalu saya teringat seloroh
seorang teman kantor,“Bagi lelaki mobil adalah rumah keduanya dan kita sebagai
istrinya harus bersyukur dengan keadaan itu. Coba kalau rumah keduanya rumah
dengan ....” teman itu tidak melanjutkan kalimatnya tapi kami yang mendengarnya
bisa menebak dan tergidik. (rs)
Allhamdulillah dua-duanya positif ya walaupun rumah keduanya mobil :)
BalasHapus