Pelajaran Bermain di Luar Rumah


Saya dan suami sama – sama lebih suka jika putri sulung kami Azka Azzahara (4y5m) bermain daripada membiarkannya  lama-lama duduk manis di depan tv.  Bukan berarti Azka tidak pernah nonton tapi kami membatasinya. Bermain di dalam rumah atau di luar rumah, entah itu sekedar memunguti bunga kamboja yang berjatuhan, memberi makan kucing liar atau bermain dengan teman sebayanya. Saya memilih menambah budget membeli buku, kertas, krayon dan cat air dibanding berlangganan tv kabel. Karena kami percaya Play is the begining of knowledge.

Tapi membiarkan anak bermain di luar rumah, berinteraksi dengan teman sebaya dan bersinggungan dengan beragam orang bukan tanpa resiko. Itu saya sadari baru-baru ini saat  Azka mengatai adiknya yang baru berumur 8 bulan dengan perkataan bodoh. Satu dari kata-kata negatif yang saya dan suami sepakati tidak diucapkan selama membimbing anak.

“Bukan bodoh tapi dede belum bisa masih kecil,” ralat saya.
“Kakak dari mana dapat kata itu?”
Azka diam.
“Azka dibilang bodoh sama siapa?”
“Sama  bang A,  karena aku tidak bisa naik sepeda roda dua.”



“Azka nggak bodoh tapi masih belajar. Azka gak boleh ya bilang bodoh ke orang. Kasar dan gak sopan. Dan tidak ada orang bodoh tapi belum belajar dan belum latihan.”

Azka mengangguk tanpa berani menatap saya. Selang beberapa hari berikutnya saya mendapat laporan dari pengasuhnya kalau tadi sore Azka menasehati teman sebayanya saat temannya itu berkata bodoh.

“Nggak boleh bilang bodoh. Kata mama itu kasar. Nggak sopan.” teteh pengasuhnya  menirukan perkataan Azka. 

Kejadian selanjutnya, saya dibuat terkejut dengan sikap Azka saat saya memintanya men pause dulu film yang tengah ditontonnya saat menjelang adzan magrib. Padahal menghentikan aktivitas menonton atau bermain menjelang adzan magrib adalah hal biasa dan Azka biasanya mengerti karena dia pun saya ajak sholat dan membaca iqro.

“Nggak mau!”katanya dengan nada setengah membentak dan mata yang dipelototkan.
Saya terkejut dengan bentakan dan pelototan matanya. Saya berusaha tidak membentak anak dalam mendidik anak walaupun dalam beberapa kesempatan bentakan itu tak terhindarkan jika nasehat halus dan bujuk rayu tidak mempan dan yang saya larang itu membahayakan.
“Nantikan boleh nonton lagi kalau sudah sholat dan baca iqro,” ulang saya.

“Aku gak mau! Nggak mau sholat! Mau nonton!” saya makin heran dengan sikap Azka.
“Filmnya tidak dimatiin cuma di pause. Ayo sayang,” Saya mendekat ke arahnya dan mengulurkan tangan untuk mengambil remote control.

“Nggak mau!” teriak Azka sambil melempar remote control belum habis kekagetan saya Azka menangis sambil memukul-mukul saya dan berteriak. Ini bukan gaya Azka banget.
Akhirnya teteh pengasuhnya angkat bicara, kalau tadi sore Azka melihat anak tetangga yang juga teman sebayanya tengah menangis sambil berteriak-teriak, melototi  dan memukul-mukul mamanya karena keinginannya tidak dipenuhi.

“Azka kenapa mukul mama? Mama kan nggak jahat hanya minta Azka stop dulu nontonnya untuk sholat magrib dan baca iqro. Berteriak, memukul dan melototi mama sama dengan melawan orang tua dan itu tidak baik. Nanti yang marah bukan hanya mama tapi Allah. Allah tidak sayang lagi sama Azka.”

Sejak hari itu tangisan Azka kembali normal.
Tidak pernah terlintas dalam pikiran saya untuk mengurung Azka dalam rumah dengan alasan agar tidak meniru hal atau sikap yang buruk. Karena interaksi dengan lingkungan adalah hal yang tidak bisa dihindarkan. Kelak ia akan memasuki lingkungan sekolah dan kehidupannya. Tugas saya dan abinya adalah membekali dan membimbingnya agar lingkungan buruk tidak mempengaruhinya tapi bagaimana dia bisa mengambil pelajaran dan memberi pengaruh positif pada lingkungannya.
Karena keleluasan bermain yang kami berikan pada Azka, Azka memiliki cukup rasa percaya diri dan berani.

7 komentar

  1. Usia Azka seusia anakku yang kedua, dan persis (suka meniru2 apa yang di dapatnya di luar). Tapi jika kita langsung memberinya pengertian, insya Allah dia akan menjadi dirinya kembali ya Mak.

    BalasHapus
  2. Mdh2an anak2 kita bisa mengambil hal yg positif dan membuang yg negatif ya mbak...

    BalasHapus
  3. kl utk main keluar sy agak membatasi mbak, 1-2 aja di sore hari

    BalasHapus
    Balasan
    1. idem mba....saya juga biasanya sore karena pagi sekolah siang tidur...abis magrib gak boleh keluar rumah :)

      Hapus
  4. Iya sih ... memang harus siap dengan resikonya ya mbak. Di sekitar rumah kami, anak2 banyak yang kasar ngomongnya, memaki ala orang dewasa ... hih ngeri deh pokoknya...

    BalasHapus