@ Parenting Indonesia


Senangnya, tulisan saya kembali dimuat majalah Parenting Indonesia (PI) edisi bulan Maret 2012. 

Terima kasih Azka untuk inspirasi dan pelajaran yang mama dapat darimu. Love u always….




Tulisan dibukukan dalam buku Mommylicious, reviewnya di sini 

Saya menatap putri sulung kami, Azka Zahra dengan beragam perasaan yang bercampur aduk; kesal, gregetan, sedikit marah dan bingung. Tangisannya cukup membuat tangan saya tertahan untuk mencubitnya atau menyentil tangannya. Terlebih telah berjanji pada sendiri untuk tidak pernah mengunakan tangan dalam mendidik si kecil walaupun pada beberapa kesempatan tak bisa menahan diri untuk menyentil tangan atau kakinya saat dia marah dengan melempar atau menendang mainannya. Saat itu usianya 3 tahun 7 bulan.


Saya menarik nafas dan menghembuskannya berlahan. Mencoba tenang dan tidak terbawa emosi.
“Sini mama buka celananya?” ulang saya.
“Nggak mau!” kata Azka di sela isak tangisnya.
“Azka, kalau celananya gak dilepas nanti gatal,” saya mengulang kalimat itu kali ini dengan penuh tekanan sambil menjangkau celana untuk melepaskannya . Ya, gara-gara menangis Azka pipis di celana.

Azka mengelak dan duduk. Saya mencoba melepaskan celananya. Azka menolak dengan bergerak mundur dan mengayun-ngayunkan tangan. Saya mengancam akan menghukum dengan mengurung di kamar. Namun Azka tidak bergeming. Saya keluar kamar dan menguncinya. Tangis Azka malah makin keras sambil menendang-nendang pintu. Saya menyerah dan membuka pintu,  mengulang perkataan tanpa nada atau ekspresi marah. “Sini mama buka celana,” sambil menjangkau celananya.
”Nggak mau!”

Drama itu berawal dari keinginan Azka untuk makan disuapi namun tidak saya lakukan karena pada saat yang bersamaan tengah menyusui adiknya, Khalif (2m).
“Sama Uti aja ya,” kata saya menunjuk Uti (panggilan Azka untuk neneknya yang merupakan kependekan  dari eyang putri ) yang kebetulan tengah berkunjung ke rumah. 
“Sini sayang sama Uti,” kata mama.
“Nggak mau! Aku mau sama mama aja!”

“Tapi dedenya lagi nyusu. Tadi dede lagi tidur gak mau makan. Mama kan sudah bilang kalau dede bobo Azka disuapin mama, kalau dedenya lagi nyusu Azka disuapin Uti atau teh Wanti. Jadi gantian.”
“Gak mau. Aku mau disuapin mama!” Teriak Azka diikuti tangisan.

Ini bukan rebutan mama yang pertama kalinya. Terhitung sejak khalif lahir Azka berubah. Memakai baju, celana dan makan yang biasanya dilakukan sendiri tanpa saya minta kini saya yang harus melakukannya. Ya, saya masih ingat betul ekpresi wajahnya saat mengatakan,”Ma, aku mau makan sendiri.”  Atau “Ma, aku bisa pake celana sendiri.”  Saya begitu bangga sekaligus haru dengan kemandiriannya terlebih saya tidak bisa setiap saat mendampinginya karena menghabiskan hari di kantor. Bayi mungil saya sudah besar. Seperti pernah diucapkannya dengan bangga.”Ma, aku bisa makan sendiri. Aku sudah besar.” Kemandirian yang membuat saya memasukannya ke playgroup saat usianya 2 tahun.

Jika saya ada di rumah, untuk melakukan hal-hal yang belum bisa dikerjakannya sendiri, seperti cebok atau duduk ditoilet (karena masih ketinggian) Azka tidak mau dibantu pengasuhnya, teh Wanti, tapi saya yang harus melakukannya. Tapi sesekali jika saya tengah tanggung mengerjakan sesuatu dan tidak bisa membantunya, Azka mau dibantu teh Wanti. Tapi sejak Khalif lahir, Azka tidak mau dibantu sama teh Wanti sama sekali, harus saya.

Saya bisa saja sejenak memotong kegiatan menyusui khalif dan menyuapi Azka, seperti hari-hari yang lalu untuk mencegah Azka tantrum. Tapi jika itu dilakukan terus menerus, itu akan membuat Azka selalu dalam posisi memenangkan perhatian saya, memenangkan rasa bahwa dirinya lebih disayangi. Ya, saya tengah mengajarinya untuk mengerti bahwa perhatian harus dibagi untuk adiknya.
“Aku mau disuapin mama!” teriak Azka makin kencang.
“Kalau mau sama mama tunggu sampai dede bayinya selesai nyusu.”
“Gak mau! Aku mau sekarang!” tangisnya makin keras. Saya bertekad kali ini tidak akan menyerah memenuhi keinginan Azka.
Dengan khalif dalam gendongan saya beranjak menuju kamar. Azka berlari mengejar.
“Aku mau makan disuapin mama.”
“Iya, tapi tunggu!” kesabaran saya habis. Saya meninggikan volume suara plus memelototinya lalu  mendapati celana Azka  basah.

Keras. Itulah karakter Azka yang kami, saya dan suami,  coba untuk meluruskannya. walaupun Azka sadar dan tahu dirinya salah, ia akan selalu menunjukkan keegoannya dulu tanpa rasa takut bahkan ia rela menjalani hukuman untuk itu. Yap, kami terinspirasi serial the nanny mengenai kursi hukuman. Yaitu menghukum anak dengan cara mendudukkannya di kursi selama beberapa menit atau sampai amukannya reda dan meminta maaf. Saat dihukum Azka akan tetap duduk di kursinya tanpa berani beranjak sambil terus menangis dan berkata,”Aku tidak mau dihukum,” namun kata maaf tidak juga terucap walaupun sudah kami minta. Lima belas menit berlalu tangis Azka tinggal isakan. Hukuman selesai. Azka belum juga meminta maaf. Kami memeluk dan menasehatinya barulah Azka berinisiatif meminta maaf.

Tapi kali ini saya tidak memberikan hukuman kursi, memegang tubuh Azka dengan keras dan menegakkannya agar posisinya berdiri.
“Ayo mama suapin tapi azka harus buka celana, baju dan mandi dulu.”
“Tapi mau sama mama.”
“Iya sama mama.” Saya melepas baju dan celana lalu menuntunnya ke kamar mandi.
Insiden reda. Khalif kembali mengalah. Saya menyuapi sambil mengulang nasehat perihal posisinya sebagai kakak dan perhatian saya yang harus dibagi dengan adiknya dengan nada lembut.
“Kaka Azka sayang gak sama dede Khalif?” tanya saya.
“Sayang dong.”
Seingat saya, kami  sudah mempersiapkan Azka sebagai kakak sejak kami merencanakan kehamilan anak kedua. Kami kerap mengajaknya berbincang dengan berandai-andai dede bayinya sudah ada. Seperti, nanti mainannya boleh ya dipinjam dede bayi atau nanti kakak bantuin mama ya jagain dede bayi. Saat dede bayi dalam kandungan saya kerap mengajaknya berbincang dengan calon adiknya.  Dan Azka selalu nampak antusias dan tidak sabar menunggu dede bayinya lahir.
“Harus sabar. Itu godaan. Azka hanya takut tersaingi,” ujar mama saya.

Ya, saya harus lebih sabar dan belajar karena Azka perlu waktu untuk mengerti.
“Mama aku ingin pelukan,” kata Azka saat saya kembali menyusui Khalif.

Saya mengulurkan tangan kiri saya untuk memeluknya. Ini menyadarkan akan satu hal, semenjak kehadiran Khalif intensitas kami berpelukan jarang, tidak setiap malam membacakan buku atau menemani mewarnai atau main cat air, karena perhatian saya lebih tersita oleh  Khalif. Sejak Khalif hadir pula, ‘kencan’ kami di bawah pohon di rindang di taman yang membatasi komplek kami dan tanah kosong di samping tidak ada. Nyatanya bukan hanya kesabaran saya yang harus di tambah juga kemampuan memanajemen waktu agar tetap berkualitas untuk keduanya terlebih ketika tak lama lagi masa cuti akan segera habis. Saya mengecup kepala Azka dan berbisik,”Mama sayang kaka Azka dan dede Khalif.”




8 komentar

  1. Selamat mbak. Turut senang.
    Sy belum pernah kirim tulisan lagi buat media massa, terakhir thn 2004. Sudah lama sekali ....
    Jadi kepingin ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. ayo mbak coba lagi...klo saya sich ketagihan ....hehehe

      Hapus
    2. Kalo memang suka nulis. Rasanya gimana gitu ya mbak kalo lama belum menulis :D

      Kalo sudah menulis ... nikmat sekali rasanya :D

      Hapus
  2. wahhhh hebat ya mbak rina. . . aku aja susah buat nulis keren gitu. . . .

    BalasHapus
  3. kunjungan sore ah. . . . da orangnya gak nih. . .

    BalasHapus
  4. Mbak tulisamnya menginspirasi deh :) aku pun lagi mengalami hal yang sama..anak pertama 2th8bln lagi sering moody ga jelas dan ya tantrum semenjak kelahiran adiknya yg skrg sudah 7 bulan..sikapnya on and off kadang kooperatif kadang tidak..dan yaa saya pun jadi sering kehilangan kesabaran dgn mencubit atau mengurung dikamar :( sepertinya terjadi di semua ibu yah..susah sekali menjaga emosi agar tidak meledak..salam kenal mbak :)

    BalasHapus