PR 11

Dapat pr dari mbak nufus

Tugas ke satu; 11 hal mengenai saya

1.       1. Ibu rumah tangga dengan dua anak merangkap karyawan swasta, part time blogger.
2.       2. Merasa paling beruntung punya suami yang ‘family man’ :) dan di amanahi anak-anak yang sehat dan lucu.
3.       3. Tengah belajar menjadi orang tua yang baik dan smart dan belajar jadi istri sholeh
4.       4.  Hobi membaca buku dan nulis
5.        5. Sempat jadi kontributor sebuah majalah berthema parenting
6.        6. Bercita-cita jadi penulis dan ibu rumah tangga merangkap wirausahawati (amin …walaupun belum ada   ide    brilian mau usaha apa)
7.      7.   Lebih suka beli buku daripada jajan (mungkin itu sebabnya saya kurus. Halah :)
8.       8.  Agak narsis hehehe
9.        9.   Berkeinginan pintar masak dan bikin kue  (masakan saya gak pernah konsisten kadang enak kadang gak,   seperti komentar suami. Praktek bikin kue lebih sering gagal daripada berhasil)
10.   10.Pengen nambah satu anak lagi tapi gak mau merasakan sakitnya melahirkan
11.   11.Berharap bisa ke tanah suci bareng suami sebelum usia maksimal 40 tahun.

Tugas ke 2; Lebih suka nonton atau baca buku?
 Saya lebih suka baca buku dibanding nonton dan ini 11 buku yang saya suka;

1.       1. Buku-buku berthema Parenting
2.       2. Serial rumah kecil di Padang Rumput, Laura Ingalls  Wilder
3.       3. Serial Winnetou, Kary May
4.       4. Tentralogi  Pulau Buru, Pramoedya Ananta Toer
5.       5. Buku-bukunya Enid Blyton (bacaan masa kecil yang membuat saya ketagihan baca buku)
6.       6. Sepotong Senja untuk Pacarku, Seno Gumira Ajidarma
7.       7. Buku – buku anak klasik, Lucy M. Montgomery
8.       8. Perempuan,  M. Quraish Shihab
9.       9. Angsa-Angsa Liar, Jung Chang (biografi)
10.   10.La Tahzan, Aidh Al-Qarni
11.   11.Dunia Sophie, Jostein Gaarder      
PR selesai dikerjakan :)




Belajar menjadi Smart Parent dari si Kecil


“Kok mama hamil sich?” Tanya Azka (3y6m).
“Mama kan mau ngasih dede bayi buat Azka.” Tapi sepertinya jawaban itu kurang memuaskan Azka Zahra karena ia kerap mengulang pertanyaan itu selang beberapa jam atau hari dan saya masih memberikan jawaban yang sama. Lalu suatu hari Azka berhari-lari menghampiri saya sambil memperlihatkan perutnya dan berkata sambil cekikikan,”Ma lihat, aku hamil. Perutku gendut.” 

“Wah ini sich isinya nasi,” saya balik mencandainya sambil mencolek perutnya.
“Kalau Abi gak hamil?”
“Yang hamil itu perempuan, laki-laki gak bisa hamil,”
“Kenapa?”

Saya tercenung. Bingung dengan jawaban yang mesti diberikan karena tidak mungkin saya memberikan jawaban yang berkaitan dengan proses pembuahan dsb. Kalaupun ada jawaban yang sederhana dari pertanyaan itu saya belum tahu. Tentu ini bukan kali pertama Azka menanyakan hal-hal yang membuat saya atau Abinya (panggilan Azka untuk papanya) bingung untuk menjawabnya.
 “Mama hamil ya, kenapa?” Tanya Azka di lain waktu.  “Nanti kalau Azka sudah sekolah, mama kasih tahu Azka kenapa perempuan hamil? Sekarang Azka masih kecil belum mengerti .”
“Kalau sudah sd ya, Ma,”
“Iya.”

Lalu saya menceritakan kejadian itu pada Abinya.
“Jawaban Mama salah. Di seminar parenting yang kita ikuti kan dikatakan, kita tidak  boleh menunda jawaban pertanyaan anak  dengan kalimat nanti.”
“Terus jawabannya apa?”  

“Ya, bilang aja kalau perempuan punya kantung di dalam perutnya yang disebut rahim dimana seorang bayi bisa tinggal tapi laki-laki tidak punya kantung itu. Pasti Azka sedikit ngerti dia kan punya boneka kangguru berkantung yang ada anaknya. Bedanya kantung mama gak keliatan karena di dalam perut.”
Saya termenung untuk beberapa saat. Betul juga ya.

“Gimana sich Mama. Think smart donk,” goda Abi sambil tertawa. 

Terus terang saja, saya kadang sedikit narsis, merasa ilmu saya soal parenting cukup banyak, karena rajin baca buku, majalah dan ikut seminar soal parenting. Ya, itu salah satu perubahan besar saya setelah jadi mama. Kalau dulu suka dan koleksi buku sastra, walaupun kuliah dan bekerja di bidang kimia, setelah memiliki anak tepatnya setelah dinyatakan positif hamil, koleksi buku saya seputar parenting dan resep. Namun ketika dihadapkan pada realitanya, rasanya ilmu saya tidak pernah cukup. Seperti menghadapi pertanyaan – pertanyaan ajaib si kecil. Atau menghadapi tingkah lakunya dan mood yang kadang seperti rooler coaster, beberapa waktu jadi anak manis yang penurut dan mengerti disiplin yang saya ajarkan  tapi pada jam berikutnya keras kepala semua keinginannya ingin dipenuhi jika tidak menangis dan melemparkan mainannya. Dan biasanya saya menguatkan hati  dengan berkata,”Sabar. Harus sabar. Jadi mama harus sabar. Si kecil sedang berproses dan belajar.”

Sekitar seminggu lalu saat saya tengah menemaninya menonton si kecil Azka tiba-tiba nyeletuk,”Ma, aku boleh ngerokok?”
 Pertanyaan telak untuk suamiku yang sudah setahun ini kembali merokok, setelah sempat berhenti lebih dari 5 tahun. Hal yang benar-benar tidak saya sukai.
“Tanya Abi sana?” kata saya. Azka menghampiri Abinya yang tengah duduk di teras rumah, merokok.
“Abi, aku boleh ngerokok?”
“Aku gak ngajarin lho,” kata saya.
“Nggak boleh.”
“Kalau sudah besar boleh?” Saya tersenyum mendengarnya.
“Perempuan gak boleh merokok. ” Jawaban yang benar-benar kurang tepat tapi tentu saja ini bukan saat yang tepat saya mendebatnya.
“Sedikit aja, Bi.”
“Tetap gak boleh.”
“Azka sama mama aja, ya. Jangan dekat-dekat Abi kalau Abi lagi ngerokok.”
Tak lama Azka sudah kembali ke  samping saya.
“Aku gak boleh merokok.”
“Ya nggak boleh lah. Merokok itu menggangu kesehatan. Bisa jadi sakit batuk.”
“Kalau Abi gak batuk?”
“Abi juga batuk. Harusnya Abi juga gak boleh merokok.” 

Selang beberapa hari kami mengunjungi seorang kerabat, tante dari suamiku. Saat makan di sebuah restoran kami duduk terpisah meja. Saya bersama Azka sementara suamiku bersama tantenya, keduanya menunggu makanan sambil merokok.
Tiba-tiba Azka bertanya,”Dia perempuan?”
Saya mengikuti pandangan Azka untuk mengetahui siapa yang dimaksud dengan dia. Dan pandangan Azka tertuju pada tante suamiku.

Tanpa menunggu jawaban saya, Azka melanjutkan perkataannya,”Tapi kok dia merokok.”
Rupanya, jawaban Abinya soal merokok dan gender yang lebih di tangkap Azka dibanding jawaban saya yang mengaitkan merokok dengan kesehatan.

“Sebenarnya laki-laki atau perempuan tidak boleh merokok karena membuat badan jadi sakit,” terang saya.

“Ma, aku gak mau pake sup,” kata Azka sambil menunjuk sop iga hangat yang baru terhidang di meja.
Sepertinya sup yang baru saja terhidang dan meruapkan uap hangat lebih menarik perhatian Azka dari pada perkataan saya. Ehm, sepertinya kami bertiga harus melanjutkan diskusi tentang rokok di rumah. Saya dan suami pun harus menyamakan persepsi jika menjawab pertanyaan si kecil. Well, ini bukan saja membuat saya belajar banyak hal tapi nyatanya membuat kami sebagai orang tua dituntut bekerja sama sebagai sebuah tim dan selalu meng up to date pengetahuan kami soal tumbuh kembangnya. Terima kasih Azka.

Enjoy Maternity Leave : Full day mom


Tgl 12 november  lalu  Azka resmi jadi kakak. Alhamd. Dede bayi lahir dengan selamat dan sehat dengan berat di luar perkiraan 3,45 kg, cukup besar untuk ukuran tubuh saya yang kecil. 

Episode baru dimulai. Kalau sebelum dede bayi lahir, saya biasa begadang untuk menikmati me time dengan baca buku, internetan, blogging dan nulis sekarang terbangun untuk meny#s#i . Keinginan untuk ngenet atau nulis harus . Sesekali mencuri waktu dengan buru-buru menyalakan computer begitu dede bayi tidur lagi tapi biasanya tidak lama dede bayi akan bangun entah karena pipis atau lapar. Sabar….

Siang hari hampir tidak bisa berkutik karena kakak Azka minta perhatian penuh. Semua ingin dilakuakn sama mama termasuk mengenakan baju atau celana yang sudah bisa dilakukannya sendiri. Pengasuhnya, teh Wanti, tidak diperdulikannya. Bahkan sudah lebih dari seminggu Azka tidak mau keluar rumah untuk bersepeda atau main di taman. Alasannya,”Aku mau sama Mama!” Jadilah saat si dede bayi tidur saya harus menemaninya bermain dan dituntut kreatif agar Azka tidak  merengek minta nonton karena bosan. Gunting tempel, main cat air, baca buku, masak-masakan, nimbrung cuci piring dsb. Itu belum termasuk teriakan minta sesuatu atau loncat-loncat di tempat tidur saat saya meny#s#i dede bayi.

Perihal peran baru Azka sebagai kakak sebenarnya sudah kami (saya dan suami) tanamkan sejak saya  positif hamil, bahwa tak lama lagi akan ada dede bayi  buatnya dan Azka harus mau berbagi waktu dengannya. Tidur sendiri, harus mau dimandiin atau disuapin  teh Wanti . Nyatanya butuh proses lebih panjang…

Begini ya rasanya jadi full day mom dengan dua anak. Lelah, seru, menyenangkan, kadang hampir kehilangan kontrol tapi harus tetap sabar dan tersenyum. Trying to be a good mother…


Keep Writing….*

Sekitar sepuluh tahun lalu tulisan fiksi saya dimuat di beberapa majalah remaja, dalam hati terbersit,” wah, impian saya jadi penulis beken terwujud nich.” Sambil membayangkan setenar Zara Zettira atau Hilman Lupus (penulis remaja terkenal di jaman saya). Kenyataannya, setelah itu tulisan  saya tidak pernah tembus lagi ke majalah lagi. Wah, jangan – jangan tulisan saya yang dimuat kemarin karena terpaksa alias gak ada stock tulisan. Desperado dan mulai konsen kuliah. Lupakan mimpi jadi penulis dan melanjutkan mimpi jadi scientist. Tapi rupanya sya sudah terciput jauh dengan dunia baca dan tulis menulis, mimpi saya jadi scientist menguap seiring waktu. Saya memilih membeli buku-buku Pramoedya di banding membeli buku teks book kimia dan tetap nulis untuk konsumsi pribadi alias curhat hahaha.

Selepas menikah dan punya anak, bacaan saya berubah  drastis, koleksi buku saya jadi buku-buku berthema parenting seiring dengan itu semangat menulis saya kembali tumbuh dan dengan pede mengirimkan ke media masa. Entah itu tulisan curhat, sharing pengalaman atau artikel dan selalu di tolak dengan beragam alasan. Tapi berkat dukungan suami saya tidak kehilangan semangat menulis. Malah dengan sok pede menawarkan diri jadi kontributor lepas sebuah majalah berthema parenting dengan mengirimkan beberapa contoh tulisan yang saya buat.
Tak disangka mendapat sambutan positif. Mulai diberi tugas menulis dengan deadline yang membuat saya terkaget-kaget. Tiga hari , empat hari paling lama satu minggu. Begini  ya rasanya jadi penulis. Puncaknya ketika saya diminta menulis artikel kesehatan dengan mencari narasumber orang ahli (dokter) sendiri. Dengan pengetahuan yang buta soal wawancara dan mencari narasumber ini membuat saya  bingung namun dengan (kelebihan) rasa percaya diri saya sanggupi tugas itu. Walaupun deadline tidak  bisa diajak kompromi, 4 hari, dan harus saya kerjakan di sela waktu jam kantor.

Sempat terpikir untuk cuti kerja, hanya untuk cari bahan tulisan dan menuliskannya lalu mencari dokter yang bersedia jadi narasumber. Kalau saya keukeuh* dengan tawaran ini masalahnya  bukan semata soal honor tapi saya menyukai dunia menulis. Untungnya suami mengingatkan besok kan hari sabtu dan pas dengan jadwalnya saya ke dokter obgyn (saya tengah hamil). Setelah saya cek di daftar praktek dokter ternyata ada dokter mata  praktik hari itu. Ehm tapi bagaimana caranya bisa ketemu dokter itu? Waktu Tanya ke resepsionis untuk minta no hpnya tidak di beri katanya, harus seijin dokternya. Alas an yang masuk akal. Aha…sampai usia 3 tahun ini si kecil Azka kan belum pernah screening mata. Akhirnya saya daftarkan Azka untuk periksa mata sekaligus memaksimalkan fasilitas asuransi kesehatan kantor hehehe. 

Malam sabtu itu saya langsung browsing cari bahan tulisan dan membuat tulisan agar tulisan harus selesai sabtu dan langsung diberikan pada dokter yang mau jadi konsultan. Dan sepertinya harus dapat hari sabtu ini karena tulisan deadline hari selasa jadi minimal senin malam saya ketemu dokter lagi untuk mendiskusikan tulisan saya. Alhamdulillah, dokter yang memeriksa si kecil mau saat saya minta untuk jadi narasumber dan konsultan tulisan saya.
Saya mengucap syukur untuk kesekian kalianya pertemuan kedua dengan dokter  berjalan tanpa hambatan. Hanya agak kaget mendengar komentarnya tentang tulisan yang saya berikan padanya. Katanya tulisan saya banyak kesalahan dan saya harus membawa rekaman karena dia tidak sempat jika mengkoreksi tulisan saya dengan tulisan.

Dengan hp saya merekam percakapan kami yang berlangsung sekitar 45 menit. Waktu yang benar-benar tidak terasa karena topiknya menarik dan saya mendapat banyak ilmu baru. Wawancara yang sebenarnya lebih mirip saat saya disidang  tugas penelitian akhir atau skripsi.  Tulisan saya dibatai habis-habisan karena banyaknya kesalahan. Wah wah padahal semua bahan tulisan saya dapat diinternet dengan alamat sumber terpercaya. 

“Tidak semua yang menulis di internet orang ahlinya, kebanyakan mengutip pernyataan, mengutip artikel, mengutip buku  dan setiap orang bisa mempersepsi berbeda,” kurang lebih begitu komentar dokternya.
Anyway, inilah pengalaman saya menjadi wartawan dadakan  yang membuat saya semangat untuk tetap menulis dan pe de aja lagi…hehehe


*Tulisan ini disertakan dalam my-first-giveaway-pengalaman-pertama